Suami Naik Daun, Begini Kesabaran Istri Gus Baha'
KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha') memang tengah naik daun. Ceramahnya beredar di berbagai media sosial. Undangan untuk berceramah pun silih berganti.
Isteri Gus Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha' adalah "Ning" dari keluarga pesantren Sidogiri.
Saat pernikahannya. Gus Baha' memilih untuk "naik bis ekonomi" dari Pandangan (Kragan, Rembang, Jawa Tengah) menuju rumah mertuanya di Pesantren Sidogiri Pasuruan.
Setelah mempersunting Ning Sidogiri itu, Gus Baha' hidup di Jogjakarta. Mereka ngontrak rumah di Kota Pelajar itu.
Di sana, bukan berarti Gus Baha' hidup enak. Tokoh kita ini hidup pas-pasan. Bahkan, tak jarang telat bayar kontrakan karena tidak punya uang.
Gus Baha' itu bukan kiai kacangan. Keilmuannya diakui oleh ulama-ulama Indonesia, bahkan oleh Syaikhina Maimoen Zubair (almaghfurlah).
Gus Baha' adalah ketua Tim Lajnah Mushaf Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, yang anggotanya terdiri dari profesor dan doktor, padahal, Gus Baha' tidak memiliki gelar satupun.
Dan bersamaan dengan itu, Gus Baha hidup sangat sederhana. Ngebis ke sana ke mari, bahkan saat ke Madura beberapa waktu lalu, Gus Baha tidak berkenan untuk dijemput dengan mobil. "Mau ngojek saja," tuturnya.
"Ah, Allah... Saya malu... Ulama bukan, tapi maunya macam-macam."
Dalam hati, berfikir: Ah, betapa sabarnya isteri Gus Baha'. Padahal perempuan shalihah ini dari keluarga Sidogiri, tapi mau diajak hidup susah seperti itu.
Ada informasi yang mengejutkan. Ternyata, di daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, banyak juga keluarga-keluarga Sidogiri yang hijrah ke sana. Mereka tinggal di tempat-tempat terpencil dan pedalaman, berdakwah dan hidup sangat sederhana.
Karena itulah, wajar bila isteri Gus Baha' bahagia diajak hidup susah. Lha, sang suami seperti Gus Baha', yang dikenal alim itu.
Tidak pernah marah sama isteri, mengerti akan isteri. Gus Baha pun mengayomi keluarga dengan baik, menjadi penyejuk bagi keluarganya. Perbuatan dan ucapannya semuanya dengan ilmu, tidak asal-asalan.
Hidup itu bagaikan daun yang hanyut di sungai. Daun itu adalah kita, dan sungai adalah takdir. Jangan banyak harap, karena harap kita tidak akan merubah takdir.
"Semakin banyak harap dan angan, hidup semakin sumpek, takut kehilangan, takut gak kesampaian, takut keduluan orang, takut ini, takut itu. Ah, Jalani saja...,' tutur Rano Sadewo, seorang warganet menulis di akun Facebook-nya, Rabu 18 Maret 2020.