Stres Tahunan
Ini soal peristiwa yang selalu terulang setiap tahun. Tentang perjuangan orang tua yang sedang mengawal anaknya mencari sekolah. Di tingkat pendidikan menengah atas. Baik SMA maupun SMK.
Perjuangan mereka sejak minggu lalu. Saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dimulai. Mulai dari jalur zonasi sampai dengan prestasi.
Saya punya pengalaman tiga tahun lalu. Saat si bungsu ingin masuk SMA Negeri. Setelah sejak SD sampai SMP di sekolah swasta.
Stresnya bukan main. Tiga hari ikut menthengi alias memantau laptop terus-menerus. Melihat gerakan ranking nilai di SMA yang dituju. Saat itu jalur zonasi dimix dengan nilai ujian nasional.
Pilihan ke SMA Negeri adalah keinginan sendiri. Dia tetap bergeming pada pilihannya. Padahal, pilihan itu pasti mengurangi jatah kursi anak yang membutuhkannya.
Sejak dulu saya memang punya pendapat sendiri tentang sekolah anak. Sebaiknya, orang tua yang mampu secara ekonomi menyekolahkan anaknya ke swasta.
Mengapa? Karena masih terbatasnya ketersediaan kursi di sekolah negeri. Biarlah yang negeri untuk anak-anak kurang mampu yang membutuhkannya.
Saya pun memberi contoh. Tak satu pun anak saya sekolah di negeri. Kecuali si bungsu yang ngotot di SMA Negeri karena "bosen" sama kakaknya yang selisih setahun di sekolah swasta yang sama.
Padahal, waktu itu saya punya previlege memilih sekolah negeri mana saja. Sekolah paking favorit di kota ini. Saat anak-anak masih usia sekolah. Mereka tetap saya minta sekolah swasta. Meski SPP-nya lumayan mahal.
"Sebaiknya warga yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Biarlah sekolah negeri diisi anak-anak dari keluarga kurang mampu," kata saya saat masih menjadi sesuatu di Surabaya 2005-2010.
Jumlah SMA dan SMK Negeri di Surabaya ada 33 sekolah. Terdiri dari 22 SMA dan 11 SMK. Jika satu sekolah menampung 300 anak didik dalam satu angkatan, berarti hanya menampung 9.900 anak didik.
Sementara data 2018, jumlah lulusan SMP di Surabaya mencapai 40 ribu lebih. Dengan demikian, dari 4 orang lulusan SMP di Surabaya hanya seorang yang berpeluang bisa ke sekolah negeri.
Daya tampung SMA/SMK Negeri di Surabaya inilah yang membuat setiap tahun para orang tua anak didik stres. Di masa-masa PPDB SMA dan SMK Negeri berlangsung.
Apalagi menghadapi kebijakan PPDB yang sering berubah-ubah. Apalagi di tengah ketidakmenentuan selama pandemi Covid-19 ini.
Ini yang dialami asisten rumah tangga saya yang sudah ikut puluhan tahun. Anaknya harus masuk SMA tahun ini. Dari SMP Negeri di Surabaya. Sayang SMA terdekat 1 kilometer dari rumah.
Pertama ikut PPDB zonasi. Mendaftar lewat online. Apa yang terjadi? Meski telah mendapatkan bukti pendaftaran secara online, ternyata saat pengumuman dinyatakan tidak pernah mendaftar.
Karena kasihan, saya pun berusaha mencari informasi. Menghubungi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim tak mendapat respon beberapa hari.
Baru mendapatkan konfirmasi setelah wadul ke Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak.
''Penjelasan Pak Kadisdik, yang sudah pengumuman adalah untuk tahap 1. Sedangkan yang bersangkutan mendaftar untuk tahap 2. Besok pendaftaran tahap 3,'' katanya, Jumat, 26 Juni 2020.
Konon, untuk jalur zonasi si pendaftar tidak diterima karena terlalu jauh dari sekolah yang dituju. Dari jalur zonasi, SMA terdekat hanya bisa menampung calon anak didik dari radius 300 meter.
Sayang, ngopibareng.id tidak berhasil mengonfirmasi kebanaran informasi tentang jarak terjauh jalur zonasi ini ke panitia PDDB. Yang pasti, calon peserta PPDB dibatasi usianya paling tinggi 21 tahun.
Ada beberapa jalur penerimaan siswa baru melalui PPDB di Jatim. Yakni, jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perindahan tugas orang tua, dan jalur prestasi hasil perlombaan dan penghargaan. Semua jalur itu dibagi menjadi tiga tahap.
Tahap Satu untuk jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas orang tua, dan jalur prestasi hasil perlombaan atau kejuaraan. Tahap kedua untuk jalur zonasi. Sedangkan tahap ketiga jalur prestasi gabungan rerata nilai rapor dan rerata nilai ujian nasional sekolah tahun 2019 (SMA) dan jalur reguler (SMK).
SMK).
''Setelah jalur zonasi tidak diterima, anak saya mengikuti jalur prestasi tahap ketiga. Ia memilih SMA terdekat dan SMA yang jauh. Ternyata diterima yang jauh di dekat ampel,'' kata asisten rumah tangga.
Ia pun bingung dengan kelangsungan sekolah anaknya. Sangat tidak mungkin anaknya sekolah nun jauh di sana. Tinggal di Surabaya Selatan, sementara sekolahnya di Surabaya Utara.
Sedangkan untuk sekolah swasta, SPP bulannya mahal. Di atas Rp 1 juta rupiah per bulan. ''Kalau di swasta yang dekat rumah dengan SPP seperti itu, lantas kami akan makan dengan apa,'' katanya sedih.
Tampaknya, persoalan layanan pendidikan kita masih berkutat pada akses yang terbatas bagi semua warga dengan berbagai lapisan. Zonasi tetap akan bermasalah sepanjang tak ada penambahan SMA.
Seingat saya, di Surabaya tidak pernah ada penambahan SMA sejak zaman reformasi. Sehingga penerapan sistem zonasi membuat anak didik yang jauh dari sekolah tak akan mendapat akses yang luas.
Setiap tahun, pemerintah daerah hanya fokus kepada penyelenggaraan penerimaan anak didik baru yang tidak pernah sepi dari masalah. Sementara tidak pernah muncul gagasan untuk menambah kapasitas maupun sekolah baru.
Tampaknya sistem zonasi penerimaan anak didik baru tak cukup membuka akses baru bagi semua warga kecuali ada penambahan SMA atau SMK baru. Setidaknya bisa menampung separuh lulusan dari masing-masing tingkatan.
Atau memang kita ingin melanggengkan stres tahunan untuk para orang tua.