Strategi Pengembangan Kota Organik, Masihkah Efektif?
Sudah dua pekan saya berkeliling di Jabodetabek. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kawasan ibukota negara –sebelum defacto– pindah ke Ibukota Nusantara (IKN).
Hampir setiap hari menjelajah setiap kota besar dan sekitarnya. Dengan demikian bisa membandingkan perkembangan kota-kota penyangga kota Jakarta. Terutama membandingkan Kota Tangerang Selatan dan Depok.
Kita tidak perlu memperdebatkan perkembangan kota Jakarta. Apalagi harus membandingkan kota ini dengan kota besar lainnya di Indonesia. Surabaya yang telah lama disebut kota terbesar kedua di negeri ini pun tak ada seperempatnya.
Yang menarik membandingkan Tangerang Selatan dan Depok. Dua kota yang sejak reformasi mempunyai strategi pengembangan kota yang berbeda. Hasilnya pun bisa dirasakan sekarang. Baik dari skala ekonomi maupun tingkat kenyamanannya.
Semua orang tahu, Kota Tangsel kini dianggap lebih maju dibandingkan dengan Kota Depok. Di kota yang dua periode lalu dipimpin walikota cantik Airin Rachmi Diany ini punya kawasan kota modern. Sebut saja Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai (BSD) dan Alam Sutra.
Beberapa hari saya tinggal di Bintaro, sungguh merasakan kenyamanan ini. Master plan kotanya bagus. Jalannya, boulevard, infrastruktur pendukungnya, pasar modernnya, dan kawasan perumahannya. Kota ini bisa menjadi pilihan asyik dari kesumpekan Jakarta.
Tamannya indah. Mau belanja ada mall yang cukup besar. Rumah sakit tersedia. Mulai milik pemerintah sampai dengan rumah sakit swasta berkualitas. Mau jajan, banyak tempat yang enak: Pasar Modern, Fresh Market, Pasar Jajanan, dll.
Sungguh kawasan yang telah mencukupi kebutuhan warganya dengan sempurna. Akses transportasi publik juga tersedia. Ada jalur KRL yang siap melayani ke Jakarta pulang-pergi. Akses tol juga sangat dekat untuk para pengguna transport pribadi.
Dari sisi akses, Depok kini hampir sama dengan Tangerang Selatan. Ada KRL dan ada akses tol. Tapi dari sisi perkembangan kota, wilayah yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Tangsel.
Saking tidak ada perkembangan signifikan selama lebih dua dekade, warganya pun menghukum partai penguasa. “Dalam Pilkada terakhir, sebagian besar warga memilih asal bukan calon partai penguasa sebelumnya,” kata Imam Wahyudi, mantan Pemred RCTI, yang kini menjadi staf ahli di Kementerian Pertanian RI.
Walikota terpilih sekarang bukan dari partai yang sejak reformasi menguasai Kota Depok. Yang menang mantan Sekretaris Kota (Sekota) yang diusung partai lain. *Konon walikota yang terpilih sekarang dikenal sebagai orang baik. Mantan birokrat yang sudah tahu persoalan kotanya.
Sebetulnya jarak antara Bintaro dan Depok tak terlalu jauh. Seperti Surabaya-Mojokerto. Namun, begitu memasuki wilayah Depok, suasana terasa lain. Masih kental kampungnya. Kelihatan tata kotanya tak dipersiapkan dengan baik. Seperti melewati Waru Sidoarjo setelah dari Surabaya.
Tapi apakah murni karena leadership kepala daerahnya? Tentu bukan. Tangsel bisa tertata karena dibangun para pengembang besar. Seperti Bintaro Jaya oleh Pembangunan Jaya dan BSD oleh Sinar Mas. Karena pengembang besar itu, tanpa Pemkot Tangsel bekerja pun kawasan ini akan berkembang baik.
Pendekatan komersial pengembangan kota menjadikan masing-masing pengembang berlomba dalam menarik penghuni kawasan. Daya tarik tersebut dalam bentuk berbagai fasilitas pendukung dan keunggulan lainnya. Inilah yang menjadikan kawasan yang dibangun pengembang jauh lebih baik yang dikembangkan secara organik oleh pemerintah kota.
Bahkan, seringkali wilayah yang berkembang secara organik tanpa dasar rencana tata ruang yang sudah disiapkan sebelumnya. Terkadang pengembangan satu wilayah tidak nyambung dengan wilayah lainnya. Apalagi wilayah perbatasan antar kota.
Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan walikota baru Depok dalam mengejar ketertinggalan daerah sebelahnya. Apakah ia akan mengambil jalan un-organik atau tetap organik dalam pengembangan kotanya? Masihkah ada ruang untuk membangun kawasan perumahan baru yang lebih menjanjikan?
Melihat perkembangan kota-kota yang masih timpang, persoalannya tentu bukan soal Pemilukada berbiaya mahal atau tidak. Ini bukan soal sistem pemilihan langsung kepala daerah perlu direvisi atau tidak? Pokok persoalannya adalah pada visi masing-masing kepala daerah terpilih.
Pemilukada memberi ruang lebih besar kepada warga untuk memilih walikota yang sesuai dengan yang diinginkan. Bukan sekadar yang diinginkan partai politik atau sekelompok elit yang kini dikenal dengan sebutan oligarki. Pemilukada Depok terakhir merupakan contoh bagaimana pemilukada langsung bisa mengubah kekuasaan yang stagnan.
Harus diakui, desentralisasi yang diikuti oleh Pemilukada langsung telah memajukan beberapa kota dan kabupaten. Sebagian besar, kemajuan itu didorong oleh inisiatif kepala daerahnya.
Lebih tepat menyempurnakan sistem Pemilukada langsung, bukan merevisi apalagi mengembalikan ke sistem masa lalu yang sentralistik. Terlalu besar Indonesia jika hanya diurus orang-orang Ibukota negara. Apakah itu masih di Jakarta atau IKN kelak.
Advertisement