Strategi Ghani Memaniskan Gula Lagi
Sudah empat tahun saya bergulat di industri gula. Sejak ditunjuk menjadi komisaris independen di PTPN X, anak perusahaan PTPN III, BUMN Perkebunan terbesar di Indonesia.
Untung, saya pernah berkeliling mengunjungi pabrik gula di China. Selama dua minggu lebih. Setelah gagal ikut Pilkada Surabaya. Kunjungan itu terjadi 14 tahun lalu. Pengetahuan saya soal industri gula dari keliling China ini baru berguna setelah satu dekade berikutnya.
PTPN X kini sudah almarhum. Setelah dilebur dengan PTPN lainya menjadi supporting co. ke dalam PTPN I. Sementara seluruh pabrik gulanya sudah di-spin off sejak lama dan digabunng menjadi PT Sinergi Gula Nusantara (SGN).
PTPN Group memang sedang melakukan transformasi besar. Sejak empat tahun lalu. Melakukan restrukturisasi dan konsolidasi. Mengempiskan organisasi. Dari 14 perusahaan menjadi tinggal empat biji. Satu holding dan 3 sub holding.
Mulanya adalah keprihatinan seorang Direktur Utama PTPN III Holding. Mohammad Abdul Ghani, namanya. Orang dalam yang merasa sedih melihat industri gula terus merosot produktifitasnya. Padahal, kita pernah jaya. Dulu kala, saat bangsa ini belum merdeka.
Ia punya pengalaman kecil yang bermimpi menjadi keluarga karyawan PTPN saja tidak sampai. Karena begitu makmurnya pegawai pabrik gula di zaman usianya yang belia. Padahal, saat itu, ia sudah seorang anak lurah. Yang setiap saat tanahnya disewa PTPN untuk taman tebu glebakan.
Oria anak lurah kelahiran Pekalongan ini kebetulan tinggal dengan pabrik gula milik PTPN. Setiap hari, lewat pabrik gula saat pergi untuk bersekolah. Setiap hari itu pula, ia menyaksikan kemakmuran para pegawai PTPN. Di saat industri gula nasional masih jaya-jayanya.
Bahkan, Ghani punya cerita lucu yang dia ingat. Setiap saat tiba masa sewa tanah bengkok, ia dan anak-anak lainnya malah gelisah. Karena, orang pabrik membawa uang sewa bengkok dalam jumlah besar. Yang dibawa dalam dua karung. Uang cash. “Saat itu, kami selalu berdoa agar ayah kami tidak kawin lagi karena punya uang banyak,” katanya sambil tertawa.
Puluhan tahun kemudian, ia ternyata menjadi keluarga besar PTPN Group. Bahkan menjadi orang pertama di perusahaan perkebunan milik negara terbesar di Indonesia itu. Hanya, pabrik gulanya sudah tak seperti ia di masa kecil. Justru banyak pabrik gula yang tutup dan bahkan hidupnya mengenaskan.
Ia lantas bertekad mempebaikinya dengan sepenuh hati. Mengembalikan kejayaan industri gula yang pernah kita miliki bersama. Memaniskan kembali industri gula. Seperti ketika dia di waktu kecil. Atau seperti ketika tanah Jawa saja menjadi eksportir gula terbesar kedua dunia setelah Kuba. Di tahun 1930-an.
Tekad Ghani seperti gayung bersambut. Pemerintah ternyata juga merasa galau dengan ketergantungan terus terhadap importasi gula. Baik untuk konsumsi maupun industri. Yang berlangsung setiap tahun sejak lama. Yang jumlahnya sampai jutaan ton setiap tahunnya. Masak dulu eksportir, kini jadi importir. Begitu mungkin pikirnya.
Karena itu, sebagai bukti keseriusan pemerintah, terbitlah Perpres Nomer 40 tahun 2023. Tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioethabol sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Dalam Prepres ini, PTPN III Holding ditunjuk sebagai BUMN yang melaksanakan agenda percepatan swasembada tersebut.
Restrukturisasi dan konsolidasi PTPN III Holding langsung diuji dengan tugas baru. Untuk mewujudkan swasembada gula. Yang dipatok memenuhi swasembada gula konsumsi di tahun 2028 dan gula industri di tahun 2030. Tinggal punya waktu 4 sampai 6 tahun.
Mampukah PT SGN yang menjadi tangan kanan PTPN Group untuk melaksanakan penugasan pemerintah tersebut? Secara hitungan di atas kertas mampu. Juga berdasarkan pengalaman dua tahun melaksanakan paradigma dan ekosistem baru industri gula di lingkungan PTPN.
Sejak dua tahun ini, PT SGN fokus meningkatkan produktifitas 32 pabrik gula dari 36 yang dimilikinya. Mulai dari Sumatera Utara sampai dengan Sulawesi Selatan. Namun, dari 32 pabrik gula tersebut, 21 satu diantaranya ada di Jawa Timur. Jadi, Provinsi ini tetap jadi andalan lumbung gula nasional.
Sejak PT SGN memegang kendali pabrik, diberlakukan regionalisasi berdasarkan ruang produksi dan sistem bagi hasil dengan petani tebu. Ternyata, strategi baru ini jitu. Kepercayaan petani terhadap pabrik gula milik pemerintah cenderung pulih kembali. Ini artinya, PT SGN mampu merapatkan kembali relasi petani dengan negara di dalam pergulaan nasional.
Indikator kinerja pabrik gula plat merah ini juga cenderung meningkat. Dengan tata kelola baru berbasis kluster dan regionalisasi, produktifitas pabrik juga cenderung meningkat. Fenomena perebutan bahan baku tebu antar pabrik satu group tak lagi terjadi. Sebab, KPI (Key Performance Index) bukan lagi berbasis pabrik tetapi region dan kluster.
Ini tentu kabar gembira. Ini tentu memberi harapan baru bagi BUMN Gula maupun para petani tebu. Sebab, dengan produktifitas tebu maupun pabrik gula yang meningkat, maka bagi hasil untuk petani akn meningkat. Dengan sendirinya, penghasilnya nominal setiap hektarnya akan meningkat pula.
Namun, ekosistem baru di hulu industri gula nasional ini belum sepenuhnya aman dalam ekosistem hilir ekosistem pergulaan nasional. Masih perlu bukti konsistensi antar lembaga dan kementerian untuk mengawal target swasembada gula nasional. Sebab, disinilah titik kritis dari berhasil dan tidaknya target swasembada seperti diamanahkan Prepres 40/2023.
Pak Ghani dan seluruh aparatnya di PTPN Group boleh sampai “menangis darah” untuk mengembalikan kejayaan industri gula nasional. Tapi, paradigma dan ekosistem baru yang dibangunnya bisa rusak hanya oleh inkonsistensi salah satu lembaga atau kementerian yang terkait dengan sektor pangan ini.
Tapi, saya yakin, semua yang cinta negeri ini pasti ingin industri gula yang pernah jaya di masa lalu kembali lagi. Bangsa ini merasakan manisnya gula. Bukan menjadi semut yang merebutkan gula orang lain. Dengan mengimpor gula dari berbagai negara. Importasi yang tak berdampak kepada kesejahteraan petani.
Arif Afandi adalah penulis yang juga Komisaris Independen PT SGN.