Stop Terorisme! FKPT: Guru Benteng Cegah Ekstremisme-Radikalisme
Aksi terorisme berawal dari sikap ekstremisme, intoleransi dan radikalisme. Hal itu merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanaan nasional maupun internasional.
Sejak dini perlu dilakukan upaya terus menerus, guna mengantisipasi kondisi masyarakat akhir-akhir ini. Dengan semakin meningkatnya ancarama ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia.
"Hal itu telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas nasional, sebagaimana terjadi di Mapolsek Astana Anyar Bandung, belum lama ini," tutur Dr Hj Hesti Armiwulan S, SH, MHum, CCD, CMC, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur.
Hesti yang juga Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara FH Ubaya, menegaskannya dalam dalam penyampaikan materi tentang "Pencegahan ekstremisme" pada Training of Trainers (TOT) Pencegahan Ekstremisme yang diadakan Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Timur, di Hotel Harris Gubeng Surabaya, Minggu 11 Desember 2022.
Forum "Pencegahan ekstremisme" berlangsung selama 10-13 Desember 2022, sebagai tindakan pencegahan ekstremisme dan radikalisme. Disadari, pendidik dan tenaga pendidikan merupakan salah satu pilar utama yang berperan penting dalam pencegahan ekstremisme yang berkembang di masyarakat khususnya untuk pencegahan di dunia pendidikan.
Selain Hesti Armiwulan, materi lain disampaikan jajaran FKPT Jatim, Dra Faridatul Hanum, MKom (Kepala Bidang Perempuan dan Anak) dan Moch Arifin, MPd (Kabid Agama Sosial Ekonomi dan Budaya).
Selain itu, materi disampaikan Dr. Bambang Sigit Widodo, M.Pd (Kabid Pemuda dan Pendidikan FKPT Jawa Timur) dengan materi "Pentingnya Guru dlm upaya Pencegahan Intolerasi dan Radikalisme" dan Agus lmantoro, SE, S.Sos, MM (Sekretaris FKPT Jatim/Kabid Wasnas Bakesbangpol Provinsi Jatim) dengan materi "Kebijakan Pemerintah Provinsi Jatim dalam Pencegahan Ekstremisme".
Yang menarik, selain memerhatikan penyampaikan dari para nara sumber dari FKPT Jatim, ada praktik para peserta, para pendidik dan tenaga kependidikan, sebagai trainer pencegahan ekstremisme.
Hesti menyampaikan pula tugas FKPT, di antaranya, pengembangan potensi dan kreativitas yag dimiliki oleh generasi muda dalam pencegahan terorisme. Pemberian edukasi bagi kelompok perempuan dan anak dalam pencegahan terorisme
"FKPT pun melakukan penelitian tentang potensi radikal terorisme. Adanya diseminasi dan sosialisasi pencegahan terorisme kepada semua elemen masyarakat di daerah dan pengembangan kreativitas dari berbagai perspektif. Selain itu, menekankan pentingnya literasi informasi pencegahan terorisme melalui media massa, media sosial dan media lainnya," tutur Hesti Armiwulan.
Gatot Malady, S.IP., M.Si, Ketua Panitia Training of Trainers (TOT) Pencegahan Ekstremisme, menjelaskan, Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Timur sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemendikbudristek yang memiliki tugas pokok melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan guru, pendidik lainnya, tenaga kependidikan, calon kepala sekolah, kepala sekolah, calon pengawas sekolah, dan pengawas sekolah.
Hal itu berupaya mendukung Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme di dunia pendidikan.
"Kegiatan ini dengan sasaran Ibu guru jenjang SD, SMP, dan SMA dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, ditambah Widyaiswara, Widyaprada, dan Pengembang Teknologi Pembelajaran dari BBGP Provinsi Jawa Timur dengan total peserta sejumlah 94 orang," tuturnya.
"Dengan melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Pencegahan Ekstremisme kepada seluruh peserta. Melatih para peserta untuk menjadi pelatih (trainer) dalam kegiatan pelatihan Pencegahan Ekstrimisme. Menyediakan fasiltiasi bagi para peserta untuk saling berbagi dalam rangka Pencegahan Ekstrimisme di dunia Pendidikan," kata Gatot Malady.
Empat Tantangan Keberagaman Era Digital
Di depan puluhan guru dan tenaga pendidikan dijelaskan Hesti Armiwulan tentang tantangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini. Merupakan tantangan keberagaman masyarakat, di antaranya, orang dengan mudah mengumbar kebencian dengan bebas di internet.
Setidaknya, ada tantangan keberagaman yang meliputi pertentangan antarbudaya, kecemburuan sosial, dan sentimen kedaerah serta perubahan tata nilai budaya di tengah masyarakat.
Menurut Hesti, ada empat hal tantangan di Era Digital saat ini. Disebabkan sejumlah faktor:
Pertama, Ruang dunia maya yang bebas cepat dan anon (tidak beridentitas) sehingga orang bebas menyebarkan narasi kebencian menghujat atau memaki
Kedua, Kontestasi tokoh dan elit politik mendorong tumbuhnya keberanian masyarakat untuk saling menghujat dan menebar kebencian.
Ketiga, Suburnya intoleransi dan fanatisme kelompok menumbuhkan keberanian untuk menghujat dan memaki tokoh agama, keyakinan, dan politik yang dianggap bersebrrangan.
Keempat, Rendahnya literasi digital pelaku medsos sehingga menjadi liar tanpa menyadari adanya efek hukum psikologis dan dampak sosial dari penggunaan medsos tersebut.
Guna menanggulangi dan mengantisipai ekstemisme, Hesti menganjurkan untuk kembali kepada Pancasila sebagai identitas nasional. Pancasila dengan kesadaran Bhinneka Tunggal Ika, menjadi filter semua aliran dan paham yang tak sesuai, tak sejalah dengan kepribadian bangsa, serta UUD Negara RI tahun 1945. Sejumlah aliran yang bertentangan dengan Pancasila, adalah ancaman berkembangnya liberalisme, komonisme dan radikalisme.
Potret 24 Tahun Reformasi
Pada bagian lain, Hesti menjelaskan tentang potret 24 tahun Reformasi. Menurut reformasi berdampak atas perubahan di tengah masyarakat, di antaranya, identitas ke Indonesiaan semakin melemah.
"Nilai-nilai kehidupan bersama yang selama ini diidentikkan
sebagai karakter bangsa Indonesia ikut tergerus dengan
menguatnya kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, ditambah dengan tuntutan kemajuan iptek dan komunikasi yang begitu cepat (Era Industri 4.0)," tuturnya.
Demikian pula, menurutnya, pada nilai-nilai kehidupan masyarakat paguyuban berubah menjadi masyarakat patembayan yang lebih mengedepankan “aku” daripada “kami” atau “kita".
"Intoleransi, ujaran kebencian (hate speech), ekstremisme, radikalisme hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini," kata Hesti Armiwulan, menambahkan.
Pelajaran Melalui Kurikulum
Sementara itu, Kabid Agama Sosial Ekonomi dan Budaya FKPT Jatim, Moch Arifin, menyampaikan sejumlahupaya pencegahan kasus ekstremisme. Antara lain, pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai tolerasi dalam pelajaran melalui kebijakan kurikulum. Seperti halnya penguasan Pancasila, dengan kesadaran Kebhinekaan Global.
Praktik budaya sekolah terkait kerja sama dalam kegiatan keagamaan, pentas seni lintas agama dan kemah lintas iman. Selain itu, pentingnya penguatan budaya literasi budaya dan kewargaan.
"Kebijakan pemerintah tentang nilai-nilai toleransi melalui pendidikan multikultural, pendidikan multibudaya, implementasi sekolah ramah anak. Perlu dilakukan antisipasi penyalahgunaan media sosial, salah pergaulan, kelabilan emosional siswa, serta latar belakang keluarga dan masyarakat," tuturnya.
Pada kesempatan itu, selain penyampaikan dari para nara sumber dari FKPT Jatim, juga ada praktik para peserta, para pendidik dan tenaga kependidikan, sebagai trainer pencegahan ekstremisme. Tentu saja, terkait materi yang telah disampaikan kepada mereka.