Stop Impor Beras? (Bukan Mimpi Siang Bolong)
Oleh: H. Yunus Supanto
Serasa “percaya tak percaya,” Presiden Prabowo Subianto, bertekad menghentikan impor beras. Walau bukan tekad yang muluk-muluk, tetapi tahun 2024, menjadi catatan impor beras yang semakin deras! Pemerintah menambah kuota impor, sampai 5 juta ton. Pagu impor terasa makin deras, karena kebutuhan meningkat, yang tidak disertai peningkatan produksi. Bahkan pada sentra produksi padi (seantero Jawa) terjadi tren penurunan fungsi lahan pertanian.
Banyak lahan ber-alih fungsi. Berubah menjadi kawasan industri, dan ditumbuhi rumah. Niscaya mempersempit luas areal tanaman pangan. Padahal luas lahan menjadi agregat utama perkiraan produksi padi. Ironisnya, sejak tahun 2022, Menteri Pertanian selalu menyatakan surplus beras sampai 2 juta. Karena pelaporan panen padi selalu dicatat surplus, berdasar luas areal. Namun realitanya, “keran” impor beras tetap dibuka.
Hasil panen tahun 2024 dicatat mencapai 28,39 juta ton. Berdasar laporan kinerja Pangan, keberadaan beras total sebanyak 30 juta ton, termasuk beras cadangan pemerintah (BCP) yang disimpan di gudang Bulog. Seharusnya surplus. Tetapi realitanya, pemerintah masih mengimpor sebanyak 3,6 juta ton (tahun 2024). Masih ditambah lagi menjadi 5 juta ton. Sekaligus menjadi angka tertinggi impor beras selama lima tahun.
Bisa jadi, niat pemerintah impor beras untuk “menstabilkan” harga bahan pangan pokok. Sejak lepas Idul Fitri tahun 2023, harga beras terus merangkak naik, selalu di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Pemerintah telah melakukan berbagai Upaya, termasuk menggelontor beras di pasar. Antara melalui penjualan beras mursah oleh Toko Tani. Pemerintah Daerah juga menyelenggarakan operasi pasar. Harus diakui, pemerintah “takluk.”
Harga beras selama tahun 2023 sampai 2024, terasa semakin menuju puncak. Bagai serasa percaya tak percaya, harga beras memimpin laju inflasi. Maka Pemerintah (melalui Badan Pangan Nasional) memilih menetapkan kenaikan HET beras premium, dan medium. Harga beras konon, akan seperti harga BBM, bisa naik, bisa turun, sesuai input biaya ke-pertani-an. Namun wajib dipahami, Pemerintah memikul tanggungjawab harga pangan pokok yang terjangkau.
Tiada jalan lain, kecuali menaikkan HET beras medium menjadi Rp 12.500,- per-kilogram. Serta Rp 14.900,- untuk beras premium, berlaku sejak 1 Juni 2024. Kono, berdasar perhitungan input ongkos produksi ke-pertanian (beras) sudah cukup tinggi. Antara lain harga pupuk, sewa lahan, dan ongkos kerja (karena buruh tani semakin langka). Tetapi cara paling ampuh mengendalikan kenaikan harga beras, adalah impor.
Sedangkan pada sisi kepentingan petani, pemerintah juga menaikkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Naik menjadi Rp6.000 per-kilogram. Selanjutnya, gabah kering giling (GKG) di gudang Perum Bulog yang sebelumnya Rp6.300 per kg naik menjadi Rp7.400 per-kilogram. Pada bulan yang sama (Juni 2023), indek diterima petani naik. Berujung kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP).
Sekitar 98,35% masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebanyak 6,81 kilogram per-orang per-bulan. Tetapi konon, hasil panen masih mencukupi. Konsumsi beras nasional selama setahun, diperkirakan mencapai 28,39 juta ton. Tidak mudah. Tetapi Pemerintah memiliki mandatory UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, … untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Pemerintah juga bisa meningkatkan produktifitas panen, melalui modernisasi alat dan mesin pertanian. Melalui pe-masal-an fasilitasi mesin tanam, mesih panen, dan alat jemur dan pengering padi. Modernisasi alat pertanian bisa menyelamatkan faktor kehilangan sampai 20% hasil panen, sekaligus mengurangi biaya produksi ke-pertani-an.
Dengan modernisasi alat pertanian, generasi milenial akan lebih tertarik. Karena bertani (termasuk berternak, dan berkebun) nampak keren, tidak berkubang lumpur, dan berbasis teknologi.
*H. Yunus Supanto, wartawan senior.