Stigma NU Melarat
Ada yang menggembirakan dari Nahdlatul Ulama (NU). Organisisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu tak mau lagi dianggap sebagai kumpulan orang-orang melarat. Stigma yang melekat kepadanya sampai sekarang.
Sikap itu diungkapkan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Rakernas Lembaga Perekonomian NU di Hotel Borobudur, Jakarta, akhir pekan lalu. “Saya nggak terima dibilang NU melarat,” katanya.
Ia lantas menjelentrehkan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika warga NU disebut melarat mengapa antrean haji yang sebagian besar warga Nahdliyin begitu panjang?
Di daerah, berbagai gerakan penggalangan dana untuk kegiatan keagamaan dan organisasi semakin gampang. Banyak cabang NU yang mampu mengumpulkan dana miliaran rupiah melalui program koin NU dalam waktu singkat.
Secara organisasi juga tak bisa dibilang melarat. Berdasarkan laporan Lembaga Wakaf dan Pertanahan (LWP) PBNU, ormas Islam ini memiliki 6 juta bidang tanah wakaf di seluruh Indonesia. Itu di luar pondok pesantren yang sebagian besar milik pribadi para kiai NU.
Hanya saja, kekayaan NU tersebut belum dihitung total luasannya. Karena itu, masalahnya bukan organisasi yang melarat. NU itu kaya. Hanya belum mempunyai catatan. Atau lebih tepatnya belum punya kebiasaan untuk mencatat.
Perspektif yang Jernih
Karena itu, Ketum PBNU yang jebolan UGM ini mengajak pengurus dan warga Nahdliyin untuk melihat perspektif ekonomi NU ini secara jernih. Perlu meluruskan pandangan yang sudah menjadi stigma dalam masyarakat bahwa NU itu melarat.
Apa yang diungkapkan Gus Yahya –demikian Ketum PBNU ini biasa dipanggil– sepertinya hal biasa dan sederhana. Tapi sebenarnya ini sangat fundamental karena akan mengubah paradigma dalam memandang, memperlakukan, dan merumuskan kebijakan-kebijakan NU.
Ada banyak hal yang menyebabkan lahirnya stigma NU melarat ini. Pertama, menyangkut basis sosiologis warganya. Seperti diketahui, basis sosial warga NU adalah warga pedesaan dan petani. Mereka sering diidentikan dengan kantong-kantong kemiskinan.
Dari sisi warga, NU seringkali dibandingkan dengan Muhammadiyah yang berbasis perkotaan. Ormas Islam yang berdiri di Jogjakarta ini lebih banyak beranggotakan para pedagang dan kelompok menengah santri kota. Karena itu, struktur sosial mereka terlihat lebih kuat di bidang ekonomi.
Dari sini, stigma NU melarat itu terbangun. Tapi apakah dengan perubahan sosial dan kemajuan ekonomi bangsa ini, konstruksi sosial seperti di atas masih relevan? Bukankan dalam beberapa dekade terakhir telah muncul kelas menengah baru santri dari pedesaan?
Dalam sejarahnya, para kiai pendiri NU bukanlah golongan orang-orang melarat. Mereka berasal dari kalangan menengah atas muslim. Para kiai itu secara mandiri mendirikan berbagai lembaga pendidikan yang disebut pesantren di pedesaan. Pesantren masa lalu sangat independen karena mandiri secara ekonomi.
Kedua, marginalisasi politik selama tiga dekade dalam pemerintahan Orde Baru memungkinan stigma NU melarat itu tumbuh. Selama pemerintahan Suharto, NU secara terstruktur dipinggirkan secara politik dan ekonomi. Bahkan, di jaman itu, banyak kelas menengah NU yang tak merasa nyaman berafiliasi dengan NU secara terbuka.
Karena itu, begitu terjadi reformasi politik yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan Suharto, bandul NU mulai berayun. Lapis kelas menengah bermunculan secara terang-terangan. Saya pernah mencatat, indikator sederhana untuk melihat fenomena ini adalah makin banyaknya mobil premium dan mewah di setiap agenda besar seperti muktamar.
Keterbukaan politik juga memunculkan lapis baru warga Nahdliyin yang berasal dari kalangan intelektual. Lapis intelektual NU yang semula didominasi lulusan pesantren dan pendidikan agama mulai bergeser. Lulusan pendidikan umum jadi sumber baru. Makin banyak akademisi, profesional dan pemikir baru NU berasal dari nonpesantren.
Perubahan basis sosial dan posisi politis NU ini mengharuskan ormas ini menyusun konstruksi baru tentang dirinya. Ajakan Gus Yahya untuk menjernihkan stigma NU melarat saya yakin berasal dari kesadaran ini. Kesadaran bahwa struktur sosial dan politik NU telah berubah. Karena itu, harus berubah pula dalam menyusun strategi perjuangannya.
Ia tak ingin konstruksi lama tetap menjadi bagian alam bawah sadar para penggerak organisasi NU. Karenanya, ia perlu mendekonstruksi cara pandang lama, stigma melarat yang melekat ke NU, dan mengubahnya menjadi cara pandang baru untuk menumbuhkan spirit baru. Hanya dengan cara pandang dan spirit baru, NU akan tetap menjadi penggerak dalam dunia yang berubah.
Gus Yahya tak hanya mempersoalkan stigma NU melarat. Ia juga mengajak penggerak organisasi baru menjernihkan konsep kemandirian NU. Maksudnya apa? Kemandirian untuk siapa? Seperti halnya stigma NU melarat, ia mempertanyakan jika ada yang mengatakan warga NU tidak mandiri.
‘’Bayangkan, 150 juta warga NU selama ini telah membuktikan bisa hidup. Mereka tidak pernah mengemis untuk bisa hidup. Apakah yang dimaksud tidak mandiri itu pengurusnya? Kalau organisasinya, perlu dirumuskan apa yang dimaksud dengan mandiri itu?,’’ tanyanya.
Bagi dia, NU tidak punya kewajiban untuk mengatasi warga masyarakat, termasuk warga NU. Kalau masih ada yang melarat, itu tanggungjawab pemerintah. Sebab, yang menerima pajak mereka. Kecuali NU menerima setoran pajak. Jadi, kalau ada yang melarat yaang dihisab bukan NU, tapi pemerintah.
NU hanya berkewajiban membantu membangun ruang baru warga untuk berkembang. Mencarikan akses kepada jamaahnya untuk mengembangkan potensi-potensi ekonominya. Mendorong vitalitas ekonomi warga NU mendapatkan akses untuk berkembang.
Dengan pemerintah, kewajiban NU hanya membantu menjamin agenda pemerintah berjalan dan sampai ke warga tingkat bawah. Di bidang ekonomi, NU perlu membangun wacana publik tentang kebijakan yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari daerah sampai pusat. NU perlu melakukan pembicaraan politik yang menghasilkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada rakyat.
Konstruksi sosial dan politik NU yang seperti itu, menempatkan pola relasi NU dengan pemerintah dalam posisi sederajat. Karenanya, setiap agenda yang melibatkan pihak luar bukan dalam kontek subordinasi antara satu dengan lainnya. Tapi merupakan bagian dari kerangka kerjasama yng bermartabat dan saling menguntungkan.
Tentu pemahaman tentang konstruksi sosial dan politik NU seperti demikian muncul dari pemahaman sosiologi yang kuat. Berbagai statemen dan kebijakan Gus Yahya selama memimpin NU tampak sekali dilandasi pengetahuannya tentang teori-teori sosiologi, selain pemahaman keagamaan yang mumpuni.
Saya sempat berseloroh tentang kemampuan Gus Yahya dalam hal ini. “Gus, saya perhatikan ilmu yang sampeyan dapat di Jurusan Sosiologi UGM berkah dan sangat bermanfaat. Berbagai pidato sampeyan sangat sosiologis,’’ kata saya suatu ketika.
Ia pun menjawabnya dengan seloroh. “Ya. Untung saya tidak lulus. Kalau lulus paling hanya menjadi dosen seperti Najib. Tidak bisa menjadi Ketua Umum PBNU,” katanya sambil ketawa. Najib yang dimaksud adalah Dr Muhammad Najib Azka, adik kelasnya di Sosiologi Fisipol UGM yang kini menjadi Wakil Sekjen PBNU.
Rasanya, semua elemen NU harus mengikuti cara berpikir Gus Yahya jika ingin ormas Islam terbesar ini makin menentukan di masa depan. Menjadikan NU sebagai sumbu perubahan di tengah dunia yang sedang berubah. Membumikan NU sebagai magma perubahan.
*) Penulis adalah Mantan Wakil Walikota Surabaya, alumnus Fisipol UGM, kini menjadi Pengurus LP PBNU.