Status Meningkat, Surabaya Kini Zona Merah.
Pakar Epidemologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga Surabaya, Dr Windhu Purnomo menyebut, Kota Surabaya sejatinya masih dalam kategori zona merah (risiko tinggi penyebaran virus corona atau Covid-19).
Sedangkan jika merujuk pada peta risiko yang diupdate oleh Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional melalui lama www.covid19.go.id peta Surabaya masuk zona oranye (risiko sedang).
Windhu mengatakan, berdasar hasil rapat koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang dipimpin Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marvest) Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, bahwa perhitungan asesmen kini diubah sesuai ketentuan World Health Organization (WHO), yang sudah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat ini.
Artinya asesmen yang dibuat oleh Bersatu Lawan Covid (BLC) yang menampilkan peta risiko sudah tidak digunakan, dan diganti dengan level asesemen yang dilakukan Kemenkes RI.
Jika mengacu pada BLC, terdapat 14 indikator yang digunakan untuk menghitung situasi di masing-masing daerah. Di antaranya, Penurunan jumlah kasus positif dan probable dalam minggu terakhir ≥50 persen dari puncak kasus, kemudian jumlaj kasus aktif pada pekan terakhir kecil atau tidak ada, kemudian penurunan jumlah meninggal kasus positif pada minggu terakhir sebesar ≥50 persen dari puncak, lalu penurunan jumlah meninggal kasus suspek pada minggu terakhir sebesar ≥50 persen dari puncak.
Selain itu, penurunan jumlah kasus positif yang dirawat di RS pada minggu terakhir sebesar ≥50 persen dari puncak, penurunan jumlah kasus suspek yang dirawat di RS pada minggu terakhir ≥50 persen dari puncak, lalu presantasi kumulatif kasus sembuh dari seluruh kasus positif, kemudian insiden kumulatif kasus positif per 100 ribu penduduk, kemudian kecepatan laju insidensi per 100 ribu penduduk, serta angka kematian kasus positif per 100 ribu penduduk.
Perhitungan juga berdasar jumlah pemeriksaan sampel diagnosis mengikuti standar WHO (1 per 1.000 penduduk per minggu) pada level provinsi, kemudian positifity rate rendah (target kurang dari 5 persen sampel diagnosis positif dari seluruh kasus yang diperiksa) merujuk pada angka provinsi.
Kemudian rata-rata angka keterpakaian tempat tidur isolasi dalam 1 minggu terakhir pada RS Rujukan Covid-19 cukup untuk menampung pasien Covid-19 di wilayah tersebut, serta rata-rata angkat keterpakaian tempat tidur intesif dalam 1 minggu terakhir pada RS Rujukan Covid-19 cukup untuk menampung pasien Covid-19 di wilayah tersebut.
“Surabaya sekarang masih level 4 menurut asesmen situasi oleh Kemenkes. Sehingga, yang kita anggap oranye menggunakan ukuran lama itu harus kita tinggalkan. Bahkan Menko Marves sudah minta meninggalkan itu,” ungkap Windhu.
Windhu melanjutkan, asesmen level yang dilakukan oleh Kemenkes sudah sesuai dengan ketentuan WHO yang lebih tepat. Berdasar ketentuan WHO leveling ditentukan berdasar enam indikator.
Di antaranya, berdasar indikator laju penularan ada tiga indikator yakni kasus konfirmasi Untuk level 1 kurang dari 20, lalu level 2 20-50, level 3 50-150, dan level 4 lebih dari 150. Kemudian, tempat tidur perawatan di RS Rujukan level 1 5, level 2 5-10, level 3 10-30, level 4 lebih dari 30.
Kemudian angka kematian level 1 1, level 2 1-2, level 3 2-5, dan level 4 lebih dari 5. Tiga indikator tersebut dihitung berdasar transmisi komunitas per 100 ribu penduduk per minggu.
Kemudian berdasar indikator kapasitas respon terdapat tiga indikator yakni testing-positivity rate memdai jika kurang dari 5 persen , sedang jika 5-15 persen, dan terbatas 15 persen. Lalu menghitung tracing kontak erat per kasus konfirmasi memadai lebih dari 14, sedang 5-14, dan terbata kurang dari 5. Lalu dihitung berdasar bed occupancy rate (BOR) dinilai memadai jika kurang dari 60 persen, sedang 60-80 persen, dan terbatas lebih dari 80 persen.
“Lah surabaya masih level 4 lho, ini yang harus bersama-sama kita turunkan. Memang Surabaya sudah banyak bagus banyak penurunan, misal positivity rate 15 persen tapi ini masih di atas standar yakni kurang dari 5 persen,” ungkap Windhu.
Untuk menekan angka penyebaran Covid-19 di Surabaya, Windhu menyarankan, pemerintah harus memperkuat upaya 3T (testing, tracing, dan treatment), kemudian menerapkan protokol kesehatan, serta mempercepat vaksinasi. “Vaksinasi harus terus dipercepat mendekati 100 persen dari populasi, untuk perlindungan individu seluas mungkin," katanya.
Ia juga mengingatkan jika vaksinasi tidak boleh menjadi pengganti/substitusi dari strategi utama penanganan wabah yaitu case finding dengan cara 3T, semassif mungkin sambil terus dilakukan pengendalian disiplin prokes 100 persen di masyarakat.