Status Hukum HTI dan Re-Amandemen UUD
Kementerian Hukum dan HAM Kemenkumham) telah mencabut status hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Surat Keputusan (SK) No: AHU 30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Hukum Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas).
PTUN Jakarta pada 7 Mei 2018 menolak gugatan pihak HTI atas keputusan Menkumham di atas.
HTI juga ajukan kasasi terhadap PERPU No: 2 Tahun 2017 yang mengubah UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang salah satu alasannya bertentangan dengan Pancasila.
Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh pihak HTI yang berarti Surat Keptusan Menkumham tersebut tetap berlaku. Amar putusan MA tersebut tertanggal 14 Februari 2019.
Ulasan:
Secara hukum HTI tidak terdaftar alias bubar, tetapi tidak dinyatakan secara eksklusif sebagai ormas terlarang.
Berbeda dengan Partai Masyumi (NU ikut mendirikan tetapi keluar pada 1953) yang secara eksklusif dinyatakan sebagai partai terlarang.
Intinya eksistensi HTI tidak diakui oleh UU, istilah ormas terlarang menurut pakar hukum (antara lain Prof Yusril Ihsa Mahendra) tidak tepat.
Bagaimana kalau misalnya HTI melakukan transplantasi organisasi dan tetap beraktivitas. Itu urusan penegak hukum bukan urusan ormas, kewajiban masyarakat hanya melaporkan kalau tahu ada pelanggaran.
Status HTI juga berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI), yang sah secara hukum karena masih terdaftar di Kemenkumham.
Hanya berbeda pilihan dalam Pilkada atau Pilpres, jangan sampai Ormas Islam bertikai dengan Ormas lain. Ada saat berbeda dan ada saat berkumpul kembali, tetap bersatu dalam perbedaan.
Persoalan besar kita adalah , “tidak ada pengamanan Hukum dan konstitusional yang kuat terhadap Pancasila" dan hal itu pernah saya sampaikan dalam orasi di Universitas Diponegoro (Undip) pada 2011. Amandemen UUD 1945 tahun 2002 menjadi penyebabnya.
Jadi jawabannya adalah Re-Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) , karena prosesnya tidak dipikirkan secara matang, tergesa- gesa diduga secara sadar atau tidak, mengikuti agenda tersembunyi pihak luar. Jadinya, anak bangsa seperti diadu domba.
Serahkan HTI kepada pemerintah dan pilih strategi yang tepat untuk membela Pancasila.
Catatan Akhir:
Eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali mencuatkan polemik di tengah masyarakat. Ada tengara, Ormas yang telah mengusung gerakan negara Islam melalui khilafah menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu muncul kembali secara diam-diam.
Hal ini diakibatkan status pembubaran Hibut Tahrir Indonesia (HTI) baru pada level keberadaanya sebagai Ormas. Berbeda dengan pembubaran dan pelarangan Masyumi pada era Presiden Soekarno. Di masa itu, pembubaran Masyumi memiliki implikasi hukum mengikat dan negara memastikan diri hadir untuk menghindarkan multi-interpretasi di tengah masyarakat.
Dalam talkshow di TV9 Surabaya ditanyakan: bagaimana kalau misalnya HTI melakukan transplantasi organisasi dan tetap beraktivitas?
Jawaban: Kami meminta masyarakat menyerahkan urusan itu pada penegak hukum. Masyarakat dan juga ormas punya kewajiban masyarakat melaporkan kalau ditemukan ada pelanggaran terkait aktivitas HTI di daerah-daerah yang berpotensi bergerak melawan ideologi Pancasila, aturan hukum dan konstitusi negara. Ya, serahkan HTI kepada pemerintah, dan pilih strategi yang tepat untuk membela Pancasila.
Negara memang perlu cepat bergerak dan meminta semua pihak menghindari keributan di tengah masyarakat. Salah satu hal mendasar yang dilakukan, menurutnya selesaikan terlebih dahulu persoalan besar, yakni tidak adanya pengamanan hukum dan konstitusional yang kuat terhadap Pancasila, terutama setelah dilakukannya Amandemen UUD 1945 pada 2002.
Proses amandemen saat itu tidak dipikirkan secara matang, tergesa-gesa diduga secara sadar atau tidak mengikuti agenda tersembunyi pihak luar.
DR. KH As'ad Said Ali
(Pengamat Sosial Politik, mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama [PBNU] periode 2010-2015).