Status Hashim Djojohadikusumo: Kafir, Non-Muslim atau Apa?
Sejak diputuskan dalam sidang pleno Munas NU 2019 di Banjar, mengenai status non-Muslim dalam konteks negara bangsa Indonesia, pro-kontra atas keputusan itu terus menyebar. Bahkan, hasil Munas NU itu ditarik ke wilayah politik praktis.
"Saya misalnya ditanya mengenai status Pak Hashim, adik Pak Prabowo; apakah dia kafir, non-Muslim atau apa? Ini seperti menguji keputusan Munas NU langsung pada kasus riil," ujar Ketua Komisi Bahtsul Masail Munas NU, KH. Abdul Moqsith Ghazali pada ngopibareng.id, Kamis 7 Maret 2019
Yang dimaksud Hashim, tak lain adalah Hashim Djojohadikumo, adik kanding Prabowo Subianto.
"Atas pertanyaan di atas, saya jawab, jika menggunakan parameter akidah Islam, dia adalah kafir. Dan jenis kafir itu telah tuntas dibahas para ulama ketika menafsirkan Surat al-Kafirun dalam kitab suci Al-Qur'an."
Pengakuan Hashim soal keluarganya
Terkait hal ini, seperti diakui Hashim Djojohadikusumo sendiri pada acara Persatuan Gereja Indonesia, yang digelar di Wisma Bhayangkari Jakarta Selatan, Minggu 27 Januari 2019, ia menjelaskan latar belakang agama keluarganya
"Istri saya Kristen, anggota GKI sudah 46 tahun. Ibu kami, saya, Ibu Prabowo dari suku Minahasa. Ibu kami lahir Kristen Protestan. Banyak yang tak tahu kalau keluarga kami banyak Kristen, termasuk (jadi) pendeta," ujar Hashim.
Sedangkan sang ayah, almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo (almarhum), kata Hashim, beragama Islam dari lahir hingga meninggal.
"Ini saya jelaskan supaya ada konteksnya, bahwa keluarga Prabowo itu beragam. Kakak kami Katolik, saya Kristen. Prabowo haji, satu lagi kakak perempuan Prabowo Islam. Dua Islam, dua pengikut Kristus. Itu keluarga kami, Djojohadikusomo, keluarga Pancasilais. Menurut kami tak ada masalah," ujar Hashim, dikutip viva.co.id.
Jawaban KH. Abdul Moqsith Ghazali
Di sinilah, sesungguhnya duduk masalah terkait Keputusan Munas NU tersebut dihasilkan. KH. Abdul Moqsith Ghazali melanjutkan penjelasannya.
"Atas pertanyaan di atas, saya jawab, jika menggunakan parameter akidah Islam, dia adalah kafir. Dan jenis kafir itu telah tuntas dibahas para ulama ketika menafsirkan Surat al-Kafirun dalam kitab suci Al-Qur'an.
"Namun, penting diketahui bahwa Munas NU kemarin sama sekali tak mendiskusikan jenis kafir aqidah ini," jelasnya.
Yang dibahas dalam Munas NU adalah tentang status non-Muslim dalam konteks negara bangsa? Apakah mereka bisa disebut kafir dzimmi, mu'ahad, musta'man atau harbi?
Menurut Kiai Moqsith, bahwa forum Munas NU menyepakati status non-Muslim dalam konteks negara bangsa seperti Indonesia adalah warga negara (muwathin) karena dia tak memenuhi syarat untuk disebut kafir dzimmi, kafir mu'ahad, kafir musta'man apalagi kafir harbi seperti dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
"Kalau jawaban ini tak juga bisa dipahami, maka memang harus ngaji lagi. Sebab, sejauh yang saya pantau, kesalah-pahaman terhadap keputusan Munas NU itu terjadi karena mereka tak mengerti bahwa ada banyak kategori kafir dalam fikih," tutur kiai yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus Situbondo, yang didirikan KH As'ad Syamsul Arifin (almaghfurlah) itu. (adi)