Staquf
Oleh Himawan Bayu Patriadi
Namanya terdiri dari tiga kata: Yahya Cholil Staquf. Ketika kuliah S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada (UGM), saya dan teman-teman biasa memanggilnya "Staquf".
Sebagian kecil teman yang lain memanggilnya "Cholil". Mungkin mereka ini tidak tahu bahwa nama "Cholil" diambil dari nama tengah Abah-nya, KH. Muhammad Cholil Bisri, dari pesantren Roudlotut Tholibien, Rembang.
Sedangkan panggilan "Yahya"—persisnya "Gus Yahya"—kala mahasiswa hampir tak pernah bergema. Bagi saya, dan mungkin teman-teman mahasiswa lainnya, nama yang terakhir ini adalah panggilan beliau setelah bergelar Kyai Haji (KH). Dengan kata lain, “Staquf” adalah panggilan “Gus Yahya muda’.
Saat mahasiswa, Staquf adalah adik angkatan beberapa tahun. Meskipun satu fakultas, kami berdua berbeda jurusan. Saya di Hubungan Internasional, sedangkan dia di Sosiologi.
Aktivitas di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mempertemukan kami. Tahun 1984, dalam sebuah Basic Training (Batra) HMI Komisariat FISIPOL di Yogya Selatan; seorang peserta membetot perhatian saya. Posturnya kurus dengan rambut gondrong, namun serius menelaah Qur’an.
Info dari panitia, peserta itu bernama ‘Staquf’, yang saat itu tengah mempersiapkan diri untuk menjadi khotib sholat Jum’at, menyusul penunjukannya oleh Master of Training (MT) Batra HMI. Kala memberikan khutbah Jum’at, materi berisi, kata tertata, dan emosi terkendali. Dalam hati saya bergumam: ‘menarik sosok satu ini!’.
Ketika terkuak latar belakangnya, saya-pun menjadi maklum akan sosok-nya. Putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri sekaligus juga keponakan dari ‘kyai-seniman’ KH Mustofa Bisri (Gus Mus), membuat saya mafhum akan kapasitasnya: cerdas, agamis, tapi humoris; meskipun terkadang ‘nyleneh’ (tak lazim) baik dalam penampilan dan pemikiran.
Misalnya, tak jarang dia nguncit (mengikat) rambutnya yang panjang, sampai ada teman HMI dari Fakultas Filsafat bilang: “penampilan rambut Staquf mengingatkanku pada aktor Steven Seagal”. Tahun 1986, Staquf terpilih menjadi Ketua Komisariat.
Dia adalah ketua komisariat ‘terakhir’, sebelum komisariat HMI FISIPOL memutuskan untuk ‘vakum dari kegiatan’ di tengah perpecahan dalam tubuh HMI (antara HMI DIPO dan HMI MPO) menyusul isu asas tunggal.
Sampai periode kepemimpinannya, di FISIPOL-UGM HMI, merupakan satu-satunya saluran bagi aktivis mahasiswa berazas Islam, baik yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah.
Sebelumnya memang sempat ada keinginan teman-teman NU untuk mendirikan Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Demikian pula teman-teman Muhamadiyah juga mau mendirikan Komisariat Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Namun, kami di HMI melakukan perdekatan dari hati ke hati.
Argumennya, belajar dari pengalaman interaksi yang tidak sehat antara organisasi mahasiswa berazas Islam di kampus tetangga, alangkah baiknya jika semua aspirasi bisa disalurkan melalui HMI.
Keberhasilan membangun pemahaman bersama menjadikan HMI komisariat FISIPOL UGM sebuah rumah besar nan segar bagi aktivis mahasiswa berazazkan Islam dengan berbagai latar belakang. Bahkan, ‘gojlok-gojlokan’ (saling mengolok) di tengah perbedaan justru sering menjadi hiburan.
Sejak mahasiswa, Staquf adalah bagian dari ‘elite’ di angkatannya dan selalu aktif dalam perbincangan akademik. Bagi kami yang tidak satu jurusan, selalu merasa asyik terlibat dalam perbincangan teman-teman di sosiologi, di mana Staquf termasuk di dalamnya.
Selepas dari Ketua Komisariat, dia menjadi Ketua sekaligus penggerak aktivitas Musholla FISIPOL-UGM dan berhasil menjadikannya menjadi lembaga dakwah keagamaan modern yang inklusif. Yang menarik, kajiannya tidak terbatas pada isu-isu ke-Islaman, namun juga membahas isu-isu kontemporer berangkat dari perspektif teori sosial modern.
Diskusinya selalu menginspirasi sekaligus memotivasi untuk menekuni teori-teori sosial, khususnya teori ‘babon’ (induk), baik yang mainstream seperti dari Durkheim, Weber, Parson, Berger, Gidden; maupun teori non-mainstream seperti, Marx, Horkheimer, Habermas, Baudrillard, dan Foucault.
Kalaupun Staquf pada akhirnya tidak menyelesaikan kuliah S1-nya, bukanlah karena keterbatasan akademik. Saya dan teman-teman justru melihatnya sebagai sosok yang memiliki kemampuan akademik tapi (sayangnya) tidak membutuhkan gelar akademik!
Di mata saya, evolusi panggilan dari ‘Staquf’ menjadi ‘Gus Yahya’ seakan mencerminkan perjalanan kiprahnya, baik peran maupun pemikirannya. Puncaknya, terpilih menjadi Ketua Umum PBNU (2021-2026) di Lampung kemarin.
Jika dalam kontestasi sempat ada yang menyebutnya sebagai ‘sosok yang kuat dalam basis tradisi NU’, saya tidak heran. Bahkan sejak kuliah S1, saya tak meragukannya. Sebagai putra ulama besar NU, beliau bukan sekedar tahu ‘ilmu’ NU, tapi juga ‘ngelmu’-nya (menghayatinya) sekaligus.
Alkisah sewaktu kuliah, saya sempat ikut kelas dengan topik kajian tentang NU. Referensi yang disodorkan sang dosen adalah ‘Islam and Politics in Indonesia’; karya Allan A. Samson—seorang Indonesianist asal Amerika. Seorang sahabat yang mendalami NU—yang kebetulan juga menantu dari seorang kyai kampung—secara kritis berkomentar: “Kalau menjelaskan NU hanya pakai kerangka pemikiran Allan Samson, ya susah!”.
Sarannya justru mengejutkan saya: “Untuk mudahnya, jika kamu ingin sedikit tahu tentang NU, cermati saja cara pandang dan perilaku Staquf, kawan kita itu!”. Ketika harus melakukan fieldwork di Jakarta tahun 2004—guna penulisan disertasi PhD di Flinders University, Australia—saya sempat mewawancarai Gus Yahya.
Lebih dari satu dasawarsa tak jumpa, keramahannya tak berubah. Penjelasannya, termasuk bagaimana dalam sejarahnya NU tidak bersifat monolitik; sekali lagi menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang anatomi dan permasalahan organisasi keagamaan terbesar tersebut.
Jargon yang diusungnya dalam kompetisi memperebutkan Ketua PBNU tahun 2021 di Lampung kemarin—yaitu ‘menghidupkan kembali Gus Dur’—juga tak berlebihan. Alasan utamanya, karena beliau punya kapasitas untuk itu. Kembali pada perjumpaan saya dengan beliau tahun 2004, usai wawancara saya tanya: “Bagaimana pengalaman jadi juru bicara Gus Dur saat beliau jadi Presiden?”
Sambil ngakak (tertawa keras) beliau jawab pakai bahasa Jawa: “akeh seneb e, Mas!” (banyak sakit perut-nya, Mas!).
Ungkapannya ini bukanlah sebuah keluhan, tapi lebih sebagai penegasan. Beliau kemudian menjelaskan. Meskipun jadi juru bicaranya, Gus Dur tidak selalu memberi briefing kepadanya tentang apa yang harus disampaikan ke media massa.
Dengan demikian, kita bisa menduga bahwa keberhasilannya sebagai juru bicara kepresidenan tak lepas dari kemampuannya secara tepat menafsirkan pemikiran dan kemauan Gus Dur. Kemampuannya ini merupakan modal awal yang bagus untuk keberhasilan program yang akan diusungnya sebagai Ketua Umum PBNU.
Sebagai catatan akhir, seperti saya katakan di awal, ke-nylenehan-nya seakan mengiringi kelebihannya. Pemikirannya bisa melawan arus, sementara tindakannya kadang sulit ditebak bak langkah bidak catur. Dalam hal ini, mirip dengan mentornya: Gus Dur! Terakhir, saya termasuk menjadi ‘korban’-nya. Tanggal 22 Desember 2020 ada reshuffle kabinet.
Nama beliau masuk dalam daftar menteri yang akan dilantik dan sudah tertulis dalam media cetak nasional: “Yahya Cholil Staquf sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi”. Saya-pun bergegas kirim ucapan selamat lewat whatsapp. Beliau langsung menjawab: “Mboten kulo, Mas. Adiku!” (bukan saya, Mas. Adik saya—Gus Yaqut Cholil Qoumas!).
Lhooh?! Saya sempat terkejut. Tapi, saya segera tersadar akan ke-‘nyleneh’-annya. Dari infomasi yang saya terima kemudian, nampaknya beliau memang sengaja diam untuk ‘nge-Prank’ banyak orang. Terbayang beliau sambil ngakak dengan kilau mata yang bulat …
Selamat mengemban amanah, Gus!
*Himawan Bayu Patriadi: Dosen Hubungan Internasional dan Ketua C-RiSSH Universitas Jember.