Stadion Bintang
Saya telah mengunjungi tiga stadion klub Liga Premier di Inggris. Bahkan, salah satunya sempat merasakan aura pertandingan klub papan atas: Manchester City vs Liverpool di Etihad Stadium.
Dua stadion klub Liga Premier lainnya adalah Anfield di Liverpool dan Emirates Stadium di London. Tiga stadion ini menjadi home base klub yang selalu mengisi 5 besar klub sepakbola yang berkompetisi di Inggris.
Di Paris, saya pernah masuk ke Stade de France, stadion utama Perancis. Tapi ini bukan milik klub. Melainkan seperti Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Awal tahun lalu, saya sempat mengunjungi Allians Arena milik Bayern Munchen di Jerman.
Tadinya saya sempat pingin mampir ke Old Trafford di kawasan Greater Manchester. Namun hanya bisa melihat home base Manchester United itu dari jalan saat lewat menuju pool Europcar, salah satu persewaan mobil di Inggris.
Apa kesan pertama di berbagai stadion yang begitu terkenal sejagat ini? Semuanya berdiri tegak diantara pemukiman penduduk. Apakah itu Etihad, Anfield, dan Emirates. Tidak jauh dari tempat tinggal warga seperti Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya.
Tapi jangan bayangkan seperti Stadion 10 Nopember Tambaksari yang dekat dengan rumah penduduk. Di Anfield dan Etihad, perumahannya tak sepadat Tambaksari. Rumah di sekitarnya rata-rata masih menyisakan ruang kosong. Sedangkan Emirates lebih kelihatan padat karena stadionnya di tengah kota.
Tapi hampir semua stadion itu memiliki akses transportasi publik yang memadai. Bahkan di Etihad, ada stasiun khusus yang aktif setiap ada even besar. Apakah itu saat pertandingan bola maupun even konser musik. Di Etihad ada termpat parkir moibil pribadi yang luas. Tapi untuk bisa parkir di situ harus mendaftar terlebih dulu.
Ketika menyaksikan laga besar di Etihad, saya berangkat dengan menggunakan taksi online. Perjalanan 30 menit dari tengah kota. Sedangkan pulangnya menggunakan trem dari Stasiun Etihad. Dengan antrean yang tertib. Padahal, stasiunya sederhana seperti stasiun Sepanjang Sidoarjo.
Saya mengunjungi Anfeld dengan naik Uber. Masuk tidak dari pintu utama. Tapi dari samping. Sisi jalan langsung perumahan yang sebagian besar berwarna coklat. Warna terakota tua. Persis di depan pagar stadion.
Di Anfield memang tidak akan transportasi kereta. Hanya ada bus kota dan taksi. Saya juga tidak melihat lapangan parkir mobil. Hanya saja, Anfield memiliki halaman yang cukup luas. Sehingga begitu masuk halaman stadion tampak lega.
Seperti halnya di Etihad, toko resmi jersey dengan segala perniknya terpisah dari bangunan stadion. Namun dari ketiga klub besar itu, toko resmi Liverpool FC terasa paling besar. Ada dua lantai. Juga terasa lebih garang karena desain warna merah yang dominan.
Akses ke Emirates lebih mudah lagi. Bisa dijangkau dengan kerata bawah tanah. Yang sangat terkenal di London. Turun di terminal Arsenal. Dari stasiun cukup 5 menit dengan jalan kaki. Melalui berbagai pertokoan dan pemukiman. Padahal, setiap pertandingan tuan rumah puluhan ribu memenuhi stadion ini.
Pintu masuk Stadion Emirates melalui lantai dua. Malalui ram yang panjang. Sehingga, penonton harus menanjak dulu menuju halaman stadion. Di halaman itu pula toko resmi Arsenal berada. Di kota London ada tiga stadion klub besar Liga Premier lainnya, yakni Totenham Hostpur dan Chelsea.
Mengapa banyak stadion di Inggris dekat pemukiman? ‘’Sejarahnya, dulu sepakbola menjadi olah raganya kelas menengah bawah. Karena itu, kebanyakan stadion di lingkungan pemukiman orang miskin,’’ kata Anton Alifandi, alumnus UGM yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di London.
Menurutnya, baru mulai tahun 1990-an, sepakbola berkembang dan mulai masuk ke tontonannya kalangan menengah atas. Tadinya, olah raga yang digemari kelas sosial atas sepakbola Eropa: Rughby. Sedangkan sepakbola dulu menjadi olahraganya para pekerja.
Lantas mengapa pusat keramaian yang penuh kompetisi berani di tengah pemukiman? Kuncinya di tata kelola pertandingan dan stadion. Ditambah dengan ekosistem liga yang sudah tertata. Sebelum mencapai sistem liga terbaik di dunia, Inggris pernah mengalami masa kelam. Bahkan pernah terkenal dengan holiganisme.
Namun, Inggris berhasil mereformasi sistem kompetisi sepakbolanya. Sehingga menjadikan Liga Premier seperti sekarang. Liga yang terbaik di dunia. Dengan tim-tim besar yang telah berkembang sebagai industri. Bukan lagi semata-mata sebagai klub olahraga. Tapi industri hiburan yang bisa menghadirkan investor besar.
Klub besar di Liga Premier kini dimiliki investor asing. Baik dari negara-negara Uni Emirat Arab, Rusia, dan Arab Saudi. Bahkan, sudah mulai masuk investor Indonesia seperti kelompok Bakrie yang belum lama mengambil alih Oxford FC yang bermain di Liga Dua Inggris.
Melihat stadion di Inggris, rasanya Stadion Tambaksari bisa dikembangkan menjadi seperti Stadion Emirates maupun Anfield. Tentu dengan membangun kembali akses yang lebih manusiawi. Seperti membangun ram baru yang menghubungkan lapangan di depannya adan akses dari jalan lainnya.
Intinya, jika ekosistem sepakbola Indonesia berubah menuju industri, stadion manapun bisa dirombak untuk menjadi homebase klub besar. Menjadikan stadion Indonesia sebagai stadion para bintang. Tentu setelah upaya membangun sepakbola industri berkembang seperti yang terjadi di Inggris. Mau dicoba?