Stadion
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Perbandingan Politik, Universitas Jember.
Aku hanya sebuah stadion. Namun, namaku cukup mentereng: Jakarta International Stadium (JIS). Konon, sejak awal aku diproyeksikan sebagai venue untuk event internasional. Tapi, sebulan terakhir ini aku mendadak gelisah. Tak dinyana, aku menjadi bahan kontroversi. Tak pelak, aku masuk deretan top-ranks dalam trending topic media massa. Seandainya aku seorang selegram, mungkin aku gembira. Pasalnya, kontroversi ini berpotensi jadi rejeki, karena bisa mendulang banyak followers.
Tapi, aku sosok yang naif. Aku tak happy berada di tengah pusaran kontroversi. Alasannya, sebagian besar yang menyorotiku bukanlah ahli anatomi tubuhku. Sebagai produk manusia, aku menyadari diriku memang tak sempurna. Walhasil, aku pun tak keberatan bagi setiap usulan perbaikan. Toh, sejatinya, aku pun juga tak akan berdaya menghadapi setiap keputusan. Hanya saja, andai boleh berharap melalui metafora; kalau-pun aku harus menjalani ‘operasi’, keputusan itu selayaknya berdasar diagnosa dan saran ‘dokter ahli’.
Yang membuatku gundah bukanlah rencana renovasi, melainkan ‘objektivikasi.’ Maklum, di tahun politik, semua bisa dilirik jadi obyek framing politik. Di era post-truth; kebenaran bukan lagi berdasar fakta, tapi sekedar bertumpu pada persepsi semata. Setiap berita, tak peduli akurasinya; bukan hanya sekedar ‘aset’, tapi juga ‘senjata’. Aku-pun sedih. Nuraniku juga terasa perih. Sebagai stadion, aku sebenarnya bisa berkontribusi menjaga keutuhan bangsa. Pasalnya, melalui olahraga, apalagi pertandingan sepakbola, aku berharap mampu merajut persatuan. Tapi, dengan obyektivikasi yang menuai kontroversi ini, obsesiku menjadi halu. Walhasil, bukan persatuan nasional yang terbangun; tapi justru perpecahan sosial yang menahun.
Langkah dengan dampak sosial di atas jelas bertabrakan dengan kekhawatiran masyarakat luas. Dalam survei mutakhirnya tanggal 15-16 Juni 2023, Litbang Kompas mengkonfirmasi. Lebih dari separuh responden (56%), menyatakan khawatir akan perpecahan dalam pemilu 2024. Sementara itu, 49,3% merasa khawatir, dan bahkan, 18,8% sangat khawatir, akan penggunakan cara kampanye yang memecah belah masyarakat. Abai terhadap kecenderungan faktual ini adalah refleksi ketidakpedulian terhadap persatuan negeri.
Namun, mendadak kesadaranku bangun. Ternyata ada fungsi lain yang bisa aku jalin. Aku tak lagi terpaku dalam sendu, meski harus siap menjadi sansak tinju. Lantaran, aku masih bisa berfungsi sebagai kaca benggala perpolitikan. Melalui cermin diriku, publik akan bisa melihat narasi yang mencuat. Yang terlontar, sebagian besar justru berupa negative campaign terhadap sang rival. Baik itu dilakukan secara vulgar maupun lewat saling sindir. Tapi, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar substansinya tak mengasah nalar. Memang, kampanye model ini tak melanggar aturan. Tapi, isu utamanya bukanlah masalah aturan, melainkan defisit peradaban. Pasalnya, prioritas utama adalah mendegradasi lawan, tanpa merasa perlu menawarkan gagasan politik yang mencerahkan.
Pertanyaan dasarnya, apakah maraknya negative campaign semacam itu dilakukan karena momentum yang kebetulan, ataukah justru cerminan langkanya aset politik yang bisa diandalkan? Entah! Tak dipungkiri, pragmatisme politik memang selalu menggoda untuk dilakukan. Tapi, yang pasti, peradaban politik adalah sebuah dambaan. Penegasan Jürgen Habermas, filsuf Mazhab Frankfurt asal Jerman, layak menjadi peringatan. Menurutnya, ketika masyarakat politik terjerembab dalam ‘situasi yang serba kalkulatif’, mereka sejatinya tak lagi punya kesadaran politik. Pasalnya, nalar telah mengabaikan fungsi emansipatorisnya. Politik menjadi kehilangan esensinya; karena kontestasi gagasan yang mencerahkan, sekaligus membebaskan, telah sirna. Akibatnya, permasalahan besar dan lebih mendasar yang tengah dihadapi bangsa menjadi terabaikan. Keberadaannya seakan sebuah fatamorgana. Dalam situasi semacam ini, apa dayaku? Sekali lagi, aku hanyalah sebuah stadion. Mungkin, sudah nasibku menjadi sasaran obyektivikasi perpolitikan. Yang bisa kulakukan hanya pasrah. Tapi, hati kecilku senantiasa berdesah. Semoga kasus yang menimpaku kali ini membawa hikmah. Wallahu’alam...
Advertisement