Sri Sultan Ingatkan Pentingnya Perkuat Nilai-Nilai Kebangsaan
Maraknya isu SARA yang berpotensi memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akhir-akhir ini membuat Gubernur Daerah Istimewa (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X merasa perlu kembali mengingatkan masyarakat betapa pentingnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan dalam acara Pidato Kebangsaan di Gedung Pertemuan Kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Bangkalan, Rabu 12 Desember 2018.
Dalam pidatonya yang bertajuk “Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan Guna Merajut KeIndonesiaan”, Sri Wultan menyampaikan tiga hal, yakni Nasionalisme sebagai induk dari nilai-nilai kebangsaan, penguatan fungsi dan peran UKP-PIP, dan yang terakhir aktualisasi Pancasila.
Sebagai awalan, Sri Sultan menjelaskan fenomena yang belakangan jni terjadi, yakni pertanyaan spekulatif yang sering muncul dalam berbagai for a mengenai kebenaran tentang “Semangat Kebangsaan” yang sudah mati, atau setidaknya kurang relevan lagi? Pertanyaan berikutnya mengenai menguatnya “Politik Identitas” berbasis agama yang sering muncul secara laten mengimpikan “Negara Islam”, atau setidaknya semangat menghidupkan kembali “Piagam Djakarta”, berdampak terhadap menyurutnya “Semangat Kebangsaan“ sekarang ini?
Menjawab pertanyaan tersebut, Sri Sultan menegaskan perlunya setiap elemen bangsa mengambil peran strategis untuk membangun “Semangat Kebangsaan yang MengIndonesia“ dengan menegaskan semua kepentingan sempit atas Suku, Agama, Ras dan AntarGolongan (SARA).
Ia juga berharap peran kaum intelektual untuk melakukan transformasi ide-ide kebangsaan dengan metoda yang mudah dicerna Generasi Muda. Sri Sultan mencontohkan beberapa fenomena yang terjadi di negara lain, salah satunya di Amerika Serikat, misalnya, dimana jiwa Nasionalisme ditanamkan sejak dini pada jenjang pendidikan pre-school.
Ia mencontohkan ucapan Presiden Donald Trump: “the Great America”. Jadi globalisasi pun adalah perluasan Semangat Nasionalisme-Ekspansif Amerika Serikat. “Lewat soft-campaign, AS melakukan penetrasi politik, ekonomi dan budaya memasuki ke negara-negara berkembang dengan aman, dan malah nyaman dirasakan oleh penduduknya. Dari berbagai fenomena empirik itu, telah meruntuhkan teori para pemikir ‘endist’ tersebut,” jelas Sri Sultan.
Selain itu, transformasi ide-ide kebangsaan itu juga dilakukan Jepang. Dengan cara-cara itulah Negeri Matahari Terbit sukses mengembangkan ilmu pengetahuan, industri dan teknologi Barat. Begitu juga dengan kemajuan Korea Selatan yang berakarkan ajaran Konfusius menempatkan penghargaan terhadap pendidikan. “Revitalisasi terhadap budaya sendiri adalah basis Ketahanan Budaya bangsa Jepang dan Korea terhadap terpaan Gelombang Budaya Global,” terang Sri Sultan.
Menurutnya, semua itu membuktikan bahwa setiap negara maju tetap membina Jiwa Nasionalisme agar tidak luntur. Maka itulah, Sri Sultan menyerukan agar bangsa Indonesia harus terpanggil dan tergerak guna menguatkan Nilai-Nilai Kebangsaan sendiri.
“Pendekatan kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati nurani guna tercapainya rekonsilisasi yang berkelanjutan,” jelas Sri Sultan.
Ia juga menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai faktor penentu Semangat Kebangsaan, membawa konsekuensi agar menjadikannya sebagai basis membangun peradaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan berkeadilan.
Untuk pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan, menurut Sri Sultan diperlukan optimalisasi solusi yang bersifat implementatif-konkret guna memperkuat ketahanan bangsa. Setidaknya teridentifikai tiga simpulan yang perlu ditindaklanjuti. yaitu penguatan fungsi dan peran kelembagaan UKP-PIP, merajut dan aktualisasi nilai-nilai KeIndonesiaan berdasar Pancasila, terutama nilai praksis yang langsung kasatmata dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya nilai-nilai toleransi, keadilan, dan gotong-royong, serta peningkatan daya antisipatif melalui metode yang sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan Generasi Milenial.
Adapun tindak-lanjut pencapaiannya jika dipadatkan dapat dilakukan melalui dua Strategi yang dikonstruksi dalam implementasi, yaitu optimalisasi implementasi regulasi dan fungsi kelembagaan dalam pemantapan nilai-nilai KeIndonesiaan bagi warga negara;
Strategi lainnya adalah peningkaan pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai KeIndonesiaan dalam dinamika perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masing-masing strategi seharusnya diuraikan lanjut dalam upaya, metode, dan aktor pelakunya.
Acara ini terselenggara atas kerja sama Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dengan Forum Intelektual 45 Jawa Timur. Selain Sri Sultan, turut hadir dalam acara tokoh Madura Prof. Dr. Mahfud MD, dan turut mengundang Gubernur Jawa Timur, Bupati Bangkalan, Sumenep, dan Sampang, serta jajaran pimpinan UTM.
Mahfud MD Ajak Refleksi Peran Yogyakarta bagi Indonesia
Sementara itu, tokoh Madura Prof. Dr. Mahfud MD mengajak para hadirin untuk merefleksikan kembali peran penting Yogyakarta di era revolusi kemerdekaan dan era reformasi. Mahfud menegaskan bahwa Yogyakarta punya peran penting dalam sejarah terbentuknya NKRI.
"Tahun 1946 Belanda melalui bendera PBB mau merebut kembali NKRI, tapi Jogja memberi tempat kepada Presiden Soekarno agar Ibukota dipindah ke Jogjakarta," papar Mahfud.
Setelah itu, lanjut Mahfud, Sri Sultan Hamengkubuwana X membiayai keberlangsungan pemerintahan sampai tahun 1949, sampai Belanda mengakui Kedaulatan NKRI.
Selanjutnya, Mahfud menceritakan kesaksiannya saat menjelang reformasi 1998. Ia menyaksikan sendiri dan ikut mengawal saat Presiden Soeharto akan jatuh. Kondisi masyarakat serba khawatir dan tidak kondusif. Melihat hal itu, Sri Sultan Hamengkubawono X lalu mengadakan pisowanan agung agar peralihan kekuasaan berjalan dengan tertib.
"Pada 20 Mei 1998 Sri Sultan mengadakan pisowanan agung, lebih dari 1 juta orang ke kraton. Jalan-jalan penuh, masyarakat mendengarkan pidato Sultan. Esoknya Pak Harto menyatakan mundur, dan revolusi berjalan aman," imbuhnya.
Mahfud menambahkan, selama ini pendekatan politik dan ekonomi pernah dilakukan. Namun keduanya gagal. Presiden Soekarno jatuh. Begitu juga Presiden Soeharto. Untuk itulah perlunya kita mendengarkan Pidato Kebangsaan Sri Sultan Hamengkubawono X tentang pendekatan kebudayaan dalam membangun bangsa dan merajut keindonesiaan.
"Jogja adalah pusat kebudayaan. Dalam ilmu antropologi, Jawa dipandang sebagai kebudayaan yang adiluhung, yang unggul, dan santun, tidak ingin ribut. Itulah yang ingin ditunjukkan seperti yang telah dilakukan Jogjakarta pada tahun 1946," pungkasnya.
Sementara itu, Rektor Dr. Drs. Ec. Muh. Syarif, M.Si mengucapkan terima kasih atas kehadiran Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubawono X. Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan bahwa sejak 2001 UTM telah menjadi Perguruan Tinggi Negeri. Banyak perkembangan yang telah dicapai.
"Beberapa tahun lalu sudah mengembangkan inovasi, dan diapresiasi kemenristekdikti. Ini salah satu upaya kampus ini bisa memberi kontribusi yg konkret bagi masyarakat," imbuh Rektor. (Nas)