Sportivitas Pilkada dan Piala Dunia 2018
Oleh: Amar Hamsyah Dalam suatu pertandingan atau pertarungan selalu ada yang menang dan ada juga yang kalah. Yang menang menyalurkan hasratnya dengan rasa syukur dan bersuka ria. Sementara yang kalah harus dengan sportif mengakui kemenangan sang lawan.
Bicara sportifitas, ada yang menarik bisa dilihat dan dijadikan pelajaran berharga dari dua ajang bergengsi yang baru-baru ini dirasakan oleh masyarakat Indonesia, yakni Piala Dunia dan Pilkada 2018.
Di ajang Piala Dunia misalnya, tumbangnya juara bertahan Jerman di babak penyisihan grup ketika lawan Korea Selatan (0-2) memang menjadi tragedi yang menyedihkan. Tidak hanya pemain, pelatih Joachim Loew, suporter yang merasakan kesedihan di lapangan, hampir semuanya masyarakat Jerman mengaku sedih ketika melihat tim kesayanganya tersungkur di babak penyisihan.
Saat menjadi juara dunia empat tahun lalu, Jerman adalah sebuah mesin gol yang 18 kali menjebol gawang lawan di sepanjang turnamen dan cuma kemasukan empat kali. Pasukan Joachim Loew menampilkan sepakbola menyerang yang begitu memukau dan sangat solid sebagai sebuah tim. Namun, performa Jerman di Rusia amat bertolak belakang. Thomas Mueller dan kawan-kawan seperti tak kompak di lapangan dan gagal menyatu sebagai sebuah tim.
Banyak pemain pilar yang bermain di bawah standar. “Semua orang merasa sangat kecewa. Nasib sejatinya ada di tangan kami. Ada rasa frustrasi yang luar biasa dan kekecewaan yang teramat sangat,” kata Manajer Umum Oliver Bierhoff seusai laga.
Apa yang dirasakan tim Jerman mungkin sama dengan yang dirasakan oleh pasangan Cagub dan Cawagub Jawa Timur, Gus Ipul-Puti yang hasil quick count kalah dari rivalnya Khofifah-Emil. Dengan besar hati pria yang memiliki nama Saifullah Yusuf ini mengakui adanya beberapa faktor yang membuatnya tertinggal versi quick count ini.
Gus Ipul mengatakan dua kali dia berduel dengan Khofifah. Namun keduanya itu dia berposisi sebagai calon wakil gubernur. Nah, menariknya di Pilkada kali ini Soekarwo yang didampingi Gus Ipul malah mengusung Khofifah-Emil. "Salah satu sebab Pak Gubernur (Soekarwo) tidak bersama saya lagi untuk Pilgub (Pemilihan Gubernur) 2018 ini," kata Gus Ipul. Yang kedua Gus Ipul mengatakan, ada persoalan pada pencalonan dirinya dan pasangannya. Dia sudah melangkah pada sepertiga jalan, tetapi ternyata harus berganti pasangan pada akhir pendaftaran untuk maju sebagai paslon. "Saya harus menentukan wakil di detik detik terakhir," ucapnya. Hal itu tentu memunculkan persoalan.
Namun apapun hasilnya nanti, Gus Ipul dengan sportif menyampaikan kalau semua hasil yang ada akan diterimanya secara legowo. Dia siap dengan hasil resmi dari KPU Jatim. Untuk quick count dia oun menghormatinya. "Semua harus diterima sebagai bagian demokrasi, kami sampaikan selamat untuk semuanya, untuk rakyat intuk siapapun pemenangnya. Kami sepakat dari semalam mengakhiri masa kampanye untuk damai," pungkasnya. Dua penyebab kegagalan yang diutarakan Gus Ipul mungkin bagian dari kesalahan komposisi dalam menjalankan strategi ketika bertanding di lapangan.
Begitu juga sama dengan tim Jerman yang gagal melaju dari babak penyisihan grup akibat kesalahan pelatih Joachim Loew dalam meracik kompisisi pemain di lapangan dan menerapkan strategi permainan.
Mengakui kekalahan dengan sportif memang bukanlah sesuatu yang mudah. Ketika semua kekuatan, strategi dan taktik sudah dikerahkan dengan maksimal dalam suatu pertarungan, namun hasil yang didapat ternyata tidak memuaskan, tentu rasanya sangat menyesakkan. Tapi hasil akhir yang tertulis dalam sebuah angka jelas tidak bisa dipungkiri.
Mau tidak mau, ikhlas atau tidak ikhlas, hasil akhir tetap harus diterima dengan lapang dada. Apapun hasilnya, cermin sportifitas di Piala Dunia dan Pilkada di Indonesia layak untuk diacungi jempol. (*) Amar Hamsyah/Pemimpin Redaksi Kemenpora.go.id