Spirit Djaduk Ferianto, Membara di Pentas Surabaya
Pementasan Teater Gandrik Sambang Suroboyo menjadi momentum penting. Persembahan ngopibareng.id, mengusung naskah Para Pensiunan, di Ciputra Hall, Surabaya, 6-7 Desember 2019.
"Pementasan ini, merupakan karya musik terakhir dari Djaduk Ferianto. Musik ilustrasi untuk pementasan Gandrik di Surabaya," tutur Arif Afandi, Founder & CEO ngopibareng.id, penyelenggara pementasan Para Pensiunan di Surabaya.
Karena itu, Teater Gandrik yang setelah dirundung duka atas meninggalnya Djaduk Ferianto, 14 November lalu, para pemain dan pendukung pementasan, baru memulai latihan untuk persiapan Surabaya, pada Sabtu 23 November 2019.
Para anggota Teater Gandrik mencoba membuktikan, spirit kreativitas tak akan mati meski seorang di antara penopang teater asal Jogjakarta itu, telah tiada.
"Semangat kebersamaan telah menjadi bagian utuh dari Gandrik," tutur Kusen Ali, tim kreatif Teater Gandrik.
Ia mengingatkan akan ungkapan umum yang lazim berkembang di tengah masyarakat. "Ars Longa, Vita Brevis" (Seni itu panjang, hidup itu pendek). Demikian Hippocrates pernah memberikan renungan.
Ada kesan menarik akan semangat berkarya Djaduk Ferianto. Seperti diungkapkan Agus Noor, yang juga penulis naskah Para Pensiunan. Siapa pun yang pernah bekerja sama dengan Djaduk, menurutnya, pasti merasakan, ia sangat keras kepala, bisa langsung mendamprat bila ada yang tak beres, hingga kadang menjadi tegang.
"Tiap hendak pentas, ia seperti hendak maju perang. Bahkan untuk 'pentas-pentas ringan' seperti main di acara ulang tahun perusahaan atau mantenan, ketika ia sebenarnya tinggal naik panggung tak perlu ikut mengurus hal-hal teknis. Tapi, bila urusan sound tidak beres, misalkan, ia akan langsung protes pada penyelenggra acara," tutur Agus Noor.
Menurutnya, Djaduk ingin tiap pentasnya berjalan dengan baik, ibaratnya, seakan pementasan itu untuk acara Grammy Award (begitu kelakar kawan-kawan dekatnya).
Saking keras dan disiplinnya, kawa-kawan di Teater Gandrik menyebutnya sebagai “Kopasus”. Ia tahu itu, dan suatu kali menjelaskan: saya tak ingin orang salah sangka, terutama kawan-kawan anggota Gandrik yang lebih muda, seakan Teater Gandrik yang penuh kelakar di panggung tidak melalui proses yang “berdarah-darah” dan perjuangan keras.
Begitulah, Djaduk, selalu serius menyiapkan segala sesuatu yang dikerjakannya.
Untuk lagu yang sudah berkali-kali mainkan pun, ia mengharuskan para pemusiknya berlatih lebih dari seminggu. Djaduk menghadapi semua pentas itu seakan ia memanggul senjata berat.
Semua masalah seperti hendak diselesaikan dengan bazoka. Perihal ini, saya selalu ingat ungkapan Butet yang dimaksudkan untuk menasihati sang adik, “Duk, tidak semua persoalan harus kamu selesaikan dengan tembakan meriam.”
Bila Butet sudah ngomong seperti itu, Djaduk akan lebih rileks dan sumeleh ketika ada persoalan.
"Kekeraskepalaan Djaduk, sikapnya yang sering kenceng, bagi saya justru menjadi hal yang menarik dari Djaduk, dan dari sikapnya itu pula, jujur saya mengatakan: saya banyak belajar dan memperoleh pengalaman," kenang Agus Noor, di akun facebooknya.
Belakangan, "saya memahami, kenapa ia selalu keras kepala ketika berproses bersama: saya ingin orang menghargai saya karena kerja keras saya, bukan karena saya anak Bagong Kussudiardjo."
Nama besar seniman sering seperti pohon beringin yang menjulang, dan pepohonan lain tak akan bisa tumbuh tinggi di bawahnya. Dan Bagong Kussudiardjo adalah seniman besar di era Orde Baru, karena itulah Djaduk tidak ingin berada di bawah bayang-bayangnya.
Maka Djaduk mendirikan KUA Etnika, membuat sanggar sendiri, terpisah dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo. Bahkan ia dengan penuh kesadaran melawan jalan politik ayahnya, ketika era Reformasi 1998.
Pada saat itu, Djaduk membuat repertoar musik Kompi Susu, yang dikelilingkan ke banyak kota, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Malang, Jakarta, yang menjadi bagian hituk-pikuk demonsntrasi menuntut perubahan politik.