SOTR: Tradisi Religi atau Pop Culture Tanpa Arti
Raung knalpot motor terdengar keras. Karet kulit ban beradu dengan aspal basah jalanan Kota Surabaya yang sepi. Saat itu, waktu masih menunjukan dini hari. Ketika banyak orang sedang tertidur lelap, Rudi Frimawan dan kawan-kawannya justru memilih untuk terjaga dan menembus dinginnya udara.
Sambil menenteng beberapa kantong kresek. Perjalanan Rudi dan kawan-kawan dimulai dari Jalan Ahmad Yani menuju ke arah Wonokromo. Di satu sisi jalan, pedal gas kadang mereka kurangi, pun tuas rem yang mereka tarik perlahan, lajunya terhenti. Beberapa orang kemudian menepi sembari memberi beberapa bungkus nasi dari dalam kresek, untuk berbagi ke setiap orang yang ditemui.
Perjalanan kemudian mereka lanjutkan ke arah tengah kota, melewati jalan Darmo Kali, merasakan dinginnya angin tepi sungai Kali Suroboyo. Laju motor mereka kembali terhenti di persimpangan Jembatan Suroboyo. Lagi-lagi mereka mengeluarkan bebera bungkus nasi ke sejumlah orang yang kebetulan ditemuinya.
"Bangun, Pak, ini ada sedikit rezeki, ada nasi," kata Rudi, sembari membangunkan salah seorang penambal ban di Jalan Dinoyo. "Nggeh matur nuwun ya, nak," jawab bapak itu, menyambut pemberian Rudi.
Tak berhenti di situ, perjalanan Rudi dan kawan-kawannya masih berlanjut hingga ke arah Jalan Darmo-Jalan Basuki Rahmat-Jalan Embong Malang - Jalan Kedung Doro-Jalan Pasar Kembang-hingga bertemu di titik kumpul mereka, di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya.
Rudi dan beberapa orang yang tergabung dalam komunitas penggemar motor matic di Surabaya tersebut, menyebut perjalanan mereka pada dini hari itu bukanlah road trip biasa. Yang menjadi pembeda adalah, bagi mereka hal itu dilakukannya di bulan yang khusus, di waktu yang istimewa, di bulan suci Ramadhan.
Dalam budaya pop Indonesia, apa yang dilakukan Rudi dan kawan-kawannya itu biasa disebut sebagai Sahur On The Road. Sahur On The Road yang memiliki kependekan SOTR beberapa tahun belakangan memang marak dilakukan oleh anak-anak muda, organisasi mahasiswa, kelompok pelajar, bahkan hingga kalangan calon pejabat dan kepala daerah.
Ya, bulan Ramadhan, dalam ajaran agama Islam, memang dilabeli sebagai bulan yang penuh kebaikan. Maka tak heran siapapun berlomba-lomba untuk berbuat baik untuk memetik ganjaran yang baik pula. Termasuk dalam melakukan SOTR ini. Namun bagaimanakah perspektif islam dalam memandang fenomena SOTR ini?
Ngopibareng.id berkesempatan menanyakan hal itu kepada Ustaz Ma'ruf Khozin. Ustaz Ma'ruf-begitu biasa ia disapa-adalah seorang ulama muda Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah. Ia merupakan lulusan dari Pondok Pesantren Al Falah Ploso, kota Kediri, Jawa Timur, dan memiliki fokus dakwah di bidang Fiqih dan Amaliyah keislaman.
Berikut wawancara ngopibareng.id dengan Ustaz Ma'ruf:
Bagaimana tanggapan Ustaz soal fenomena SOTR?
Jadi, kita lihat masalah ini dari substansinya. Puasa itu kan ibadah wajib dan ibadah kebaikan, kalau ada satu perbuatan yang mengarah atau menjurus pada ibadah puasa itu nilainya baik juga.
Jadi, ada sekelompok anak muda yang menajak untuk sahur, mengajak orang lain untuk beribadah karena tujuannya menjurus pada puasa, maka cara itu juga bernilai baik seperti ibadah puasa itu sendiri.
Apakah SOTR itu baik dan termasuk bersedekah?
Kegiatan itu kan isinya ada anak-anak muda yang bersedakah, mengajak orang-orang di jalan untuk sahur, dengan memberi, bersedekah, itu pun juga hal yang baik. Sebab di Alquran Allah berfirman begini:
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Terjemah: Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. - Surat Al-Baqarah Ayat 271
Jadi nilainya justru bagus, dan mengajak orang untuk sama-sama berbuat baik.
SOTR termasuk tradisi Islam?
Kalau di zaman nabi itu memang nggak ada. Di zaman nabi itu kesadaran individu untuk beribadah cukup besar, sehingga nggak perlu ada ajakan bareng-bareng. Kalau di zaman sekarang ini perorangan diajak untuk ibadah ya sedikit yang beribadah.
Maka karena kekurangan kesadaran secara individu itu, dilakukanlah ibadah secara kolektif, ibadah secara bersama-sama. Ibadah secara kebersamaan yang tujuannya untuk ibadah bersama, tujuannya sangat bagus dan mengena, ini mungkin yang belum banyak dilakukan oleh da'i-da'i kita.
Da'i kita kan hanya di masjid, hanya di pesantren, ceramah. Nah itu belum ada yang menyentuh tataran masyarakat, belum ada yang mengajak. Nah seperti SOTR ini justru yang real, yang mengajak bukan hanya kata-kata tapi berbuat, bersedekah, dan mengajak betulan.
Maka saya sangat mengapresiasi, sangat bangga dengan kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan seperti ini, khususnya di bulan Ramadhan.
Adakah SOTR dalam sejarah Islam?
Di zaman nabi itu ada dua kali azan, azan pertama itu dilakukan Ibnu Ummi Maktum, azan subuh yang kedua itu namanya Sahabat Bilal (Bilal bin Robbah).
Azan subuh pertama kira-kira, jika menggunakan waktu sekarang, itu pukul 03.30. Jadi Ibnu Ummi Maktum itu bangun untuk membangunkan orang untuk Sholat Tahajjud, bagi yang ingin puasa supaya melakukan sahur. Baru 04.30 seperti sekarang itu Sahabat Bilal yang azan.
Bahwa kemudian sekarang di Indonesia bentuknya (membangunkan) sahur bawa kentongan, bawa alat musik, itu tidak ada di zaman dulu. Tapi bukan berarti setiap hal yang tidak ada di zaman nabi terus dilarang, kan tidak.
Itu sama saja menyamakan kalau dulu nabi ke Mekkah pakai unta, sekarang kita pakai pesawat pakai mobil, harus sama seprerti zaman nabi, ya nggak bisa (seperti itu). Selama zaman itu berkembang dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, ya tidak masalah.
Jadi SOTR bentuknya di zaman nabi memang tidak ada, tapi secara substansi mengarah kepada kebaikan itu nilainya baik, yang dianjurkan untuk tetap dilakukan.
SOTR dalam perspektif Islam Nusantara?
Kalau di Nahdlatul Ulama (NU), tradisi sahur memang sudah ada dari dulu, bahkan membangunkannya sudah menggunakan alat-alatnya masjid, seperti bedug dan lainya.
Kalau anda berkunjung ke daerah basis-basis NU, itu pukul 02.30 dini hari, sudah dibangunkan, kemudian, karena basis NU itu sebagian besar adalah masyarakat pesantren, biasanya sang kiai ini mengajak santrinya sahur, ya di kediaman atau pondok kiai itu sendiri.
Tapi memang belum nampak kiai itu mengajak santrinya untuk keluar, sahur di jalan seperti SOTR. Kiai ini bukan Sahur On The Road, tapi mungkin istilahnya Sahur On The House. Substansinya sama, kan.
"Tapi memang belum nampak kiai itu mengajak santrinya untuk keluar, sahur di jalan seperti SOTR. Kiai ini bukan Sahur On The Road, tapi mungkin istilahnya Sahur On The House. Substansinya sama, kan," - Ustaz Ma'ruf Khozin
Kendati demikian, SOTR teryata tak bisa lepas dari dampak negatif. Masih segar d ingatan, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, ada sejumlah catatan insiden bentrokan. Salah satunya adalah yang menimpa remaja bernama Pedro Leonardo Pamanda (17) yang tewas akibat serangan luka bacok sekelompok pemotor saat SOTR, di Jalan Kerinci, Kebayoran Baru, Jaksel, Juni 2018 silam.
Tetap di bulan Juni di tahun yang sama, ada pula dua warga yang menjadi korban penyiraman air keras oleh salah seorang kelompok SOTR di Jalan Otista Raya, Bidara Cina, Jatinegara. Keduanya adalah Daniel Ksatria dan Muhammad Fiyu. Daniel mengalami luka pada wajah sedangkan Fiyu mengalami luka pada tangan kirinya.
Setahun sebelum kejadian tersebut, ada pula insiden bentrokan antar rombongan yang sedang melakukan SOTR di SPBU Penjernihan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Juni 2017, dini hari. Kedua rombongan yang membawa senjata tajam terlibat bentrok. Akibatnya sebanyak 13 orang luka-luka.
Masih di Jakarta, tahun 2014 silam, di perempatan Wahid Hasyim, MH Thamrin, seorang pemuda bernama Dimmy Rahmada juga meregang nyawa akibat ditusuk, usai terlibat aksi kebut-kebutan dengan kelompok SOTR lain.
SOTR juga identik dengan bentrokan?
Kalau sesuatu yang baik, tetapi ada hal-hal negatif, maka, sahurnya itu kan bagus, tidak bagusnya itu kan karena ada gesekan. Maka yang perlu diperbaiki dan ditertibkan ya gesekannya, bukan soal SOTRnya.
Misalnya ketika akan SOTR ada pengawalan dari aparat kepolisian. Itu kan langkah antisipasi, yang sudah pasti akan menghindarkan dari gesekan dan bentrokan. Mungkin polisi juga bisa ikut mengatur, misalnya untuk daerah Surabaya, dari Bundaran Waru, hanya satu kelompok saja yang boleh melakukan, yang lain bisa diarahkan ke tempat-tempat yang lain.
Untuk SOTR nya itu saya rasa sudah baik, yang tidak baik itu tinggal dimanage, dikelola agar tidak terjadi bentrokan. Itu kan sama-sama bagus, sama-sama memiliki nilai baiknya.
Namun dampak negatif SOTR nyatanya tak hanya berhenti di situ saja, ada pula sekelumit permasalahan lain dari tradisi bagi-bagi nasi, sebagai penganan sahur untuk pengantar ibadah puasa ini.
Salah seorang aktivis lingkungan Green Generation Indonesia, Nabila Yasmindira, menemukan fakta bahwa di setiap Ramadhan, sampah di Surabaya, meningkat 20 persen jumlahnya, dari bulan-bulan biasa.
Nabila menengarai, meningkatnya jumlah sampah tersebut dipicu dari kegiatan bagi-bagi makanan saat SOTR dan kegiatan lain seperi berbagi takjil pada saat bulan Ramadhan. Menurut Nabila, kegiatan baik seperti itu sangat disayangkan jika tak diiringi dengan perilaku yang baik juga oleh manusianya.
Perilaku buruk yang dimaksud Nabila tersebut yakni, pemilihan kemasan yang digunakan para pembagi makanan untuk membungkus makananya. Sebab, Nabila seringkali menemukan bahwa para penyumbang itu menggunakan bahan yang tak ramah lingkungan, seperti plastik.
"Seringkali para penyumbang makanan dan minuman untuk takjil dan SOTR mengemas makanannya secara asal-asalan. Sehingga sebaiknya gunakan bahan ramah lingkungan dan meminimalkan penggunaan plastik," kata Nabila, memungkasi.(frd)