Soto Babat Pak Basar, Sejak 1967 di Jombang
Semangkok soto di Jalan Bok Grujug, Kwaron, Jombang, terlihat menggugah selera dengan warna kuah bening dan tumpukan irisan daging di dalamnya. Cita rasa di warung Soto Pak Basar itu tak pernah berubah, sejak disajikan di tahun 1967.
Sore yang hujan itu, Sri Suyanti, penjaga warung menemui Ngopibareng.id pada Rabu, 19 Februari 2020. Mengenakan kerudung hitam dan baju hijau, ia menyuguhkan semangkok soto daging khas Pak Basar.
Soto yang masih mengepulkan asap mengisi mangkok keramik bermotif bunga mawar merah berukuran sedang. Harum aroma daun jeruk nipis menyeruak mengguggah selera. Ada irisan brambang goreng, kecambah, dan seledri, berbaur dengan irisan daging sapi dan babat yang cukup untuk disantap dengan semangkok nasi.
Sendok pertama, kuahnya yang hangat serasa klop dengan dinginnya udara akibat hujan yang mengguyur. Rasanya tak rugi membayar Rp10 ribu untuk mencecap semangkok soto Pak Basar.
Ganti Harga Berkali-kali
Di meja kayu warung itu, Nampak satu baki berisi aneka lauk yang seolah memanggil untuk dikunyah. Ada jantung, usus, babat, lidah, hati, dan perkedel. Disiapkan garpu untuk memudahkan pelanggan memindah potongan jerohan itu ke mangkok mereka.
Setiap potong jerohan dihargai Rp5 ribu, sedangkan sepotong perkedelnya dijual Rp2 ribu. Semua masakan di warung itu diolah oleh Sri Suyanti, anak ketujuh dari Basar, pemilik warung.
Sore itu ia berada di balik gerobak panggul soto buatan Basar. Dengan cekatan tangannya mengisi mangkok dengan kuah soto, nasi, daging, dan aneka isian lain, yang tertata di atas gerobak itu.
Sambil duduk di balik gerobak, ia bertutur jika harga sotonya sudah berubah beberapa kali sejak 2004. Ibu tiga anak ini mengaku sudah menaikkan harga soto tiga kali secara bertahap. Mulai dari Rp7 ribu, Rp8 ribu, hingga Rp10 ribu. Sekarang, harga dipertahankan tetap Rp 10 ribu.
“Alah mbak, kalau mahal nggak ada yang beli mbak. Pelanggannya lari semua karena ini di desa. Rata-rata yang datang pelanggan lama mbak, bukan anak muda” ucapnya dalam Bahasa Jawa.
Pelanggannya mayoritas alumni pondok pesantren Tebuireng dan Seblak. Serta, warga sekitar.
Dalam berjualan, setiap harinya perempuan asli Kwaron itu memperoleh bahan dari pelanggan daging setia yang terkenal di desa tetangga, Kayangan. Untuk sehari, bisa menghabiskan 10-12kg, 8 kg beras, 4kg cabe rawit untuk sambal, dan satu kelapa tua parut untuk santan.
Dari Kediri ke Jombang
Setiap hari warung ini buka pukul 16.00 sore hingga 22.00. Jika nasinya tidak habis, akan diolah menjadi kerupuk puli dan karak. Sedangkan, kuah soto yang tersisa akan dipanasi, soto bertahan hingga dua hari.
Keesokan paginya pukul 10.00, Ngopibareng.id berkesempatan bertemu Pak Basar di rumahnya. Dengan mengenakan udeng khas Madura berwarna merah, ia bercerita.
Soto Babat ini sudah dirintisnya sejak tahun 1967. Saat itu ia berani berjualan soto keliling di Jombang setelah sempat berjualan di Kediri, bersama kakak iparnya Suwiji yang asli Lamongan.
Basar harus pulang meninggalkan usahanya berjualan soto di Kediri, akibat kerusuhan yang melibatkan kelompok Anshor dan Partai Komunis Indonesia (PKI), di tahun 1964.
“Saat itu di pasar saya melihat rombongan entah PKI atau Anshor tawuran membawa bambu. Saya takut, akhirnya saya pulang saja ke sini (Jombang),” kata Basar mengingat awal mula ia berjualan soto di Jombang.
Sembari berjualan soto, ia menjadi buruh angkut di pabrik gula di Desa Cukir. Ia berjualan soto bergantian dengan anaknya yang masih duduk di bangku SD.
“Kalau saya kerja di pabrik, anak saya yang masih SD gantian jaga soto. Nanti jam 8 malam saya datang dan saya gantikan” katanya, dalam Bahasa Jawa.
Dari hasil jualan soto dan menjadi buruh, Basar bisa menyekolahkan ketujuh anaknya hingga SMP. Selain itu, pergi haji beserta istri, menyumbang ke masjid, anak yatim, musala terdekat dan Masjid Sunan Ampel.
Ketika ditanya akan ciri khas soto di warungnya, pria yang gemar memakai udeng ini menjawabnya dengan terkekeh.
“Yang membuat khas adalah tanduk kerbau yang saya buat sendiri dari bambu. Itu dulu saya sendiri yang buat. Sudah dari tahun itu, saya kasih cat biar awet,” katanya menyebut tanduk kerbau buatan di atas gerobak panggulnya.