Soto Dok Bok Ireng, Kuliner Legend di Kota Bung Karno
Ada tiga jenis makanan yang eman diabaikan jika sedang berkunjung ke Blitar. Apa itu? Nasi pecel atau pecel punten, lontong tahu dan soto. Inilah tiga makanan berat khas kota tempat Presiden RI pertama dimakamkan.
Tapi apakah semua soto di Blitar punya ras khas? Tidak. Soto yang dikenal dengan sebutan soto dok yang paling istimewa. Inilah jenis soto yang sebutannya disesuaikan dengan suara yang selalu diciptakan penjual soto.
Disebut soto dok karena setiap meladeni pelanggan, penjual soto menaruh botol kecap di mejanya dengan keras. Sehingga muncul suara benturan antara bokong botol dan meja: dok. Suara itu muncul setiap tukang soto meracik setiap mangkok.
Soto dok di Blitar selalu pakai mangkok kecil. Bukan mangkok besar seperti di Surabaya atau kota lainnya. Dasar mangkok bisa digenggam dengan tangan. Setiap mangkok disajikan nasi, kuah soto yang sudah diberi kecap, sambal dan sayur-sayuran.
Pelanggan tinggal pesan pedas, sedang atau tanpa sambal. Kecap menjadi semacam keharusan. Sehingga soto Blitar selalu terasa agak manis. Jika tidak suka sayuran yang terdiri dari seledrei dan irisan kol atau kobis, perlu pesan dari awal.
Warung soto dok selalu kecil. Sehingga ada interaksi langsung antara penjual dan pembeli. Tukang
soto menghadap meja kecil dan kuali besar berisi kuah sekaligus daging dan jerohan sapi.
Kuali itu selalu panas. Sebab diletakkan diatas tungku dengan bahan bakar kayu yang terus menyala.
Di Blitar, ada sejumlah warung soto dok yang terkenal. Tapi Soto Dok Huk Ireng yang paling terkenal dan legend. Warung soto kecil tapi selalu ramai pembeli ini ada di Jalan Lawu. Tak jauh dari Pendopo Kabupaten Blitar. Dekat dengan Jalan protokol kota.
Disebut Warung Soto Bok Ireng karena lokasinya dekat jembatan warna hitam. Orang Blitar menyebut jembatan dengan sebutan bok. Tepat di pojok perempatan jalan yang masing-masing dengan jalur se arah.
Warung ini sudah berganti pengelola dua generasi turun temurun. Dimulai oleh Pak Nursamun. Setelah meninggal diteruskan anaknya. Namanya Pak Mubin. Sang anak ini meninggal 1999 lalu. Kini diteruskan istrinya yang sudah berumur 74 tahun.
"Saya nggak tahu sejak tahun berapa warung soto ini berdiri. Saya saja sudah berumur 74 tahun. Saya gantikan jualan soto suami saya yang meninggal 1999 lalu," kata Sayatin.
Perempuan yang masih tanpak sehat itu mengelola warung soto bersama anaknya. Sang anak setiap yang belanja material dan bahan-bahan untuk soto. Sedang yang meracik soto di warung untuk pelanggan ibunya.
"Bahan-bahannya disiapkan anak saya. Di sini sudah jadi dan tinggal meladeni para pembeli," tambah Sayatin. Karena itu, ia kebingungan ketika ditanya berapa kilogram daging dan jerohan sapi setiap hari dihabiskan.
Ia hanya bisa menyebutkan rata-rata beras yang dimasak setiap hari. Disebutkan, warungnya menghabiskan 15 kilogram beras. Warung Soto Bok Ireng buka mulai pukul 7 pagi hingga 15.00 WIB.
Warung ini tadinya hanya terdiir atas bangunan kecil ukuran 3 x 2,5 meter. Kini ditanbaj dengan tenda disampingnya sehingga bisa menampung lebih banyak pelanggan.
Saat saya masih sekolah di SD tahun 1970-an, sering diajak ayah saya ke warung ini. Saat itu ada dua warung soto dok yang terkenal. Selain bol irang, ada soto gang masjid. Namun yang disebut terakhir sudah tak berbekas.
Warung soto bol ireng termasuk tempat makan enak, murah dan legend. Per mangkok soto hanya Rp 10 ribu. "Saya memulai menggantikan suami saya yang meninggal sejak harga per mangkok Rp 5 ribu," tutur Suyatin.
Jadi, kalau ingin makan soto legend di kota Bung Karno ya datang saja ke Soto Bok Ireng. Sotone joss tenan. (arif afandi)