Soroti Kenaikan Biaya Kuliah, Wapres Tekankan Pembiayaan Proporsional
Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan uang pangkal di sejumlah universitas saat ini tengah menjadi sorotan karena dinilai memberatkan mahasiswa.
Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menegaskan bahwa perlunya pembiayaan secara proporsional agar UKT tidak terlalu membebani mahasiswa.
“Masalah pendidikan tinggi itu adalah amanat konstitusi yang harus kita jalankan," ujarnya dalam memberikan keterangan persnya usai menghadiri Pengukuhan Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS), Pembukaan Pekan Ekonomi Syariah (PEKSyar), dan Seminar Nasional Ekonomi Syariah Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), di Grand Maleo Hotel & Convention Mamuju, Rabu 22 Mei 2024.
Wapres menjelaskan, bahwa perguruan tinggi memiliki peran krusial dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Namun, tantangan biaya pendidikan tinggi yang mahal menjadi hambatan signifikan.
“Solusi-solusi pemerintah yang menanggung seluruhnya tidak mungkin, belum bisa," tambahnya.
Untuk itu, Ma;ruf Amin menekankan pentingnya peran Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) dalam mencari solusi alternatif untuk pembiayaan pendidikan.
“Perguruan tinggi juga diberi advokasi agar bisa mengembangkan usahanya sebagai badan hukum. Jadi, perguruan tinggi juga jangan hanya (mengejar bebasnya). Kan PTNBH itu dia bebas. Jangan hanya bebasnya saja, bisa melakukan ini-ini karena dia badan hukum, tapi tanggung jawabnya enggak, gitu kan. Itu juga tidak fair,” ujarnya.
Wapres juga menyatakan bahwa distribusi beban biaya pendidikan harus proporsional antara pemerintah, mahasiswa dan perguruan tinggi.
“Menurut saya, solusinya ya dibagi ini. Harus menjadi beban pemerintah sesuai dengan kemampuan, menjadi beban mahasiswa sesuai dengan kemampuan, dan menjadi beban perguruan tinggi melalui badan-badan usaha yang dikembangkan untuk menanggung sebagian,” paparnya.
Wapres meyakini, persoalan mahalnya biaya kuliah ini akan bisa diatasi jika proporsionalitas pembiayaan terbangun di antara ketiga pihak tersebut.
Menyinggung perdebatan soal kuliah sebagai kebutuhan tersier, Wapres berpendapat bahwa pendidikan tinggi tetap penting meskipun tidak semua orang harus masuk perguruan tinggi.
“Menurut saya, tidak semua orang harus masuk perguruan tinggi, tapi perguruan tinggi itu juga penting, karena kita harus menyiapkan sumber daya manusia yang unggul,” ujarnya.
Dalam hal ini, ia berharap agar masyarakat tidak perlu lagi memperdebatkan istilah tersebut.
“Istilah tersier itu kemudian jadi masalah yang sebaiknya nggak usah kita gunakan. Tapi, istilahnya lebih pada kebutuhan kita dan tidak semua orang harus masuk perguruan tinggi. Barangkali dicairkan saja,” pungkas wapres.
Berlaku Bagi Mahasiswa Baru
Dirjen Diktiristek Abdul Haris sebelumnya menjelaskan, bahwa tidak ada perubahan UKT untuk mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan. Apabila pemimpin PTN dan PTNBH menetapkan UKT baru, maka UKT tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru,” jelas Haris.
Lebih lanjut, Haris memaparkan, “Berdasarkan data kami, proporsi mahasiswa baru yang masuk ke dalam kelompok UKT tertinggi (kelompok 8 s.d. kelompok 12) hanya 3,7% dari populasi. Sebaliknya, 29,2% mahasiswa baru masuk ke kelompok UKT rendah, yakni tarif UKT kelompok 1, kelompok 2, dan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, sehingga melampaui mandat 20% dari UU Pendidikan Tinggi”.
Poin kedua adalah soal kemungkinan mahasiswa baru merasa keberatan terhadap penempatan kelompok UKT, sehingga Dirjen Haris menekankan bahwa PTN dan PTN-BH harus mewadahi peninjauan ulang kelompok UKT bagi mahasiswa yang mengajukan.
“Mahasiswa yang keberatan dengan penempatan kelompok UKT-nya, misalnya karena perubahan kemampuan ekonomi atau hasil penetapan tidak sesuai dengan fakta kondisi ekonominya, bisa mengajukan peninjauan ulang sesuai prosedur.”