Gay di New York itu Masuk Islam, Kisah yang Bikin Terenyuh
Di kota New York seorang sopir limo pernah menelpon Syamsi Ali, seorang imam Masjid di New York, Amerika Serikat, dan menyampaikan jika salah seorang langganannya ingin belajar Islam. Singkat cerita Syamsi Ali menerima orang itu di kemudian hari, dan terjadilah dialog berikut. Syamsi Ali menyebutnya “sahabat”.
Syamsi Ali: Selamat datang. Apa yang saya bisa bantu?
Sahabat: Saya mau belajar Islam
Syamsi Ali: Agamamu apa?
Sahabat: Saya terlahir Katolik, lalu pindah ke Kristen (Protestan). Tapi saat ini saya mengikuti ajaran Budha.
Syamsi Ali: Apakah anda biksu? (Dia memakai baju biksu).
Sahabat: Tidak. Saya bukan biksu
Syamsi Ali: Kenapa memakai baju biksu?
Sahabat: karena saya ingin menghormati anda sebagai Imam. (Rupanya menyangka bahwa menghadap Imam itu harunsya dengan pakaian tradisional agama)
Syamsi Ali: Terima kasih. Tapi saya memakai pakaian apa saja asal menutup aurat.
Singkat cerita saya tanya teman itu: “apa yang menjadikan anda ingin belajar Islam?”.
Jawabnya cukup panjang: “Sebagai seorang Budha, setiap kali saya dahaga secara spiritual (ruh) saya bermeditasi. Setelah itu saya merasa puas. Tapi ketika saya kembali ke duniaku, saya kembali hilang (tersesat). Saya ingin sebuah agama yang bisa membimbing saya 24 jam dalam hidup saya.
Syamsi Ali kemudian mengambil kendali. Syamsi Ali paham bahwa orang ini mencari acuan hidup yang riil dan praktis. “Maka saya menjelaskan bagaimana Islam membimbing hidup kita dari pagi hingga malam dan dari malam hingga kembali bangun tidur. Semua ada acuannya secara lengkap,” tutur Syamsi Ali.
Tapi dalam tiba-tiba saja dia memotong pembicaraan Syamsi Ali: “Sorry, but do you think I can be accepted a Muslim?”.
Terus terang Syamsi Ali menyangka karena dosa-dosa, termasuk tattoo yang memenuhi badannya. “Kalau anda menerima Islam maka semua kesalahan dan dosa masa lalu anda akan dimaafkan. Anda bahkan saat itu menjadi lebih baik dari saya”, kata Syamsi Ali.
Dia diam sehingga Syamsi Ali lanjutkan pembicaraan mengenai Islam dan petunjuk hidup. Beberapa menit kemudian dia kembali menyelah: “Apa benar saya bisa diterima menjadi seorang Muslim?”.
Syamsi Ali terkejut dengan pertanyaan itu. Maka ia pun bertanya balik: “Kenapa anda bertanya seperti itu?”.
Tiba-tiba dengan suara aga besar dia menyampaikan: “Because I a gay!”.
Mendengar itu Syamsi Ali diam sejenak. Mencoba menenangkan diri dan menarik nafas. Lalu Syamsi Ali melihat dia dan bertanya: “Sejak kapan anda merasakan hal ini?”
“Sejak saya memulai bisnis saya”, jawabnya singkat.
“Apa bisnis anda?”, tanya saya.
“I am a fashion show model”, jawabnya singkat.
Syamsi Ali kemudian menanyakan masa lalunya sebelum terjun ke dunia bisnis. Ternyata dia pernah punya pacar wanita, bahkan (maaf) telah tidur bersama. Maka Syamsi Ali kemudian mengatakan kepadanya: “Kalau begitu anda pernah berubah” (dari pria normal ke banci). Saya ingin tanya anda: “Apakah anda mau kembali melakukan perubahan?”.
Dia nampak diam sejenak dan dengan mengangguk menjawab: “Yes I will”.
Syamsi Ali kemudian mengatakan kepadanya bahwa menjadi seorang Muslim itu bukan sekadar berpindah agama. Tapi sebuah komitmen untuk melakukan perubahan hidup.
Singkat cerita teman ini mengikrarkan syahadat. Beberapa bulan kemudian di bulan Ramadhan beliau menelpon Syamsi Ali dan menyampaikan bahwa dia semakin merasa tenang dalam hidupnya.
Bahkan, dua tahun kemudian teman ini betul-betul menemukan kembali jalan hidupnya. Dia menemukan jodohnya melalui biro jodoh internet. Seorang wanita Maroko. Kini dia hidup dengan isterinya di Maroko dan New York. Dia pun telah meninggalkan bisnis modelnya dan memulai bisnis baru.
Poin yang terpenting dari cerita ini adalah bahwa dakwah itu memang selalu melihat sisi positif manusia. Jangan pernah merendahkan seseorang karena salah dan dosa sebesatr apapun itu. “Dan kasih sayangku meliputi semuanya”, firman-Nya.
“Berdakwahlah dengan niat dan pikiran positif. Dengan itikad dan tujuan positif. Dengan penyampaian dan bahasa positif. Dan dengan raut wajah dan karakter positif. Insya Allah hasilnya akan jauh lebih positif. Amin!”.
Demikian Syamsi Ali mengakhiri kisahnya. (adi)