Sopir Bus dan Truk Keluhkan Rapid Test
Para sopir bus dan truk di Probolinggo mengeluhkan peraturan yang mewajibkan mereka mengantongi surat keterangan telah menjalani rapid test Covid-19. Soalnya, mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk mengurus surat keterangan rapid test yang hanya berlaku 14 hari itu.
Keluhan para sopir bus dan truk itu disampaikan Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Probolinggo, Tommy Wahyu Prakoso saat sosialiasi bertajuk “Bus Tangguh” yang digelar Polresta Probolinggo. Acara tersebut diikuti oleh 40 sopir bus di aula PT Akas Mila Sejahtera, Jalan Panglima Sudirman, Kota Probolinggo, Kamis, 2 Juli 2020 itu.
"Kasihan para sopir bis dan truk, mereka mengeluarkan uang sendiri untuk biaya rapid test Rp200-400 ribu,yang hanya berlaku selama 14 hari,” kata Tommy.
Organda pun sudah menyurati Pemkot Probolinggo untuk membantu membiayai rapid test kepada sopir bus dan truk. Tujuannya, agar mereka bisa menjalani rapid test secara gratis di masa pandemi Covid-19.
Surat kepada Pemkot Probolinggo, kata Tommy, sudah dilayangkan, Jumat, 26 Juni 2020 lalu. “Namun hingga kini belum ada respon dari Pemkot,” ucap dia.
Soal keluhan sopir bus terkait surat keterangan rapid test juga diungkapkan Direktur PT Akas Mila Sejahtera, Probolinggo, Zendy Hardianto. Dia mengaku, kasihan pendapatan sopir bus yang anjlok saat pandemi Covid-19 masih harus untuk membayar rapid test.
“Para sopir bus mengurus rapid test seusai Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 Tahun 2020. Sisi lain, surat keterangan hasil rapid test itu hanya berlaku 14 hari,” katanya.
Sehingga setelah surat keterangan rapid test itu habis masa berlakunya, sopir bus kembali harus rapid tes ulang. Dan tentu saja harus mengeluarkan biaya kembali antara Rp200-400 ribu.
Zendy berterus terang, tidak hanya awak bus (sopir, kondektur, kenek) yang pendapatannya anjlok. “Selama pandemi Covid-19 pendapatan perusahaan juga anjlok hingga nol persen,” katanya.
Bahkan pasca Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah di Jatim seperti, di Surabaya dan Malang Raya, pendapatan perusahaan tetap anjlok ke titik terbawah.
“Soalnya pasca PSBB pun, jumlah penumpang bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) masih sepi,” kata Zendy.
Selama ini sistem kerja perusahaan dengan awak bus mengikuti model bagi hasil. Yakni, pendapatan hari itu dibagi menjadi tiga: sopir, kondektur (kenek), dan perusahaan.
“Sistem bagi hasil, bukan sistem kontrak. Jadi kalau pendapatan kecil, ya semuanya dapat kecil,” kata Zendy.
Selama pandemi Covid-19, pendapatan bus tidak pernah memuaskan. “Pernah kami memberangkatkan bus Probolinggo-Malang, penumpangnya cuma empat, jadi untuk uang solar saja tidak cukup," katanya.
Agus, salah seorang sopir bus Akas, mengatakan, sebaiknya sopir bus tidak diharuskan mengantongi surat keterangan rapid test. “Meski tanpa harus membawa surat rapid test, kami berusaha menaati protokol kesehatan seperti, diperiksa suhu badan saat masuk terminal, pakai masker, cuci tangan dengan handsanitizer,” katanya.
Terkait keluhan pengusaha dan sopir bus dan truk, Kapolresta, Ambariyadi Wijaya mengatakan, akan menyampaikan kepada Pemkot Probolinggo. “Keluhan terkait rapid test agar dibiayai Pemkot, akan kami komunikasikan dengan Walikota Probolinggo,” katanya.
Kapolresta mengingatkan, pandemi Covid-19 dampaknya dirasakan semua sektor usaha. “Mudah-mudahan PO Akas, perusahaannya bisa survive, karyawannya tidak ada yang dirumahkan,” kata AKBP Ambariyadi.