Soeharto Jadi Pahlawan, Sejarawan: Kita Akan Sama dengan Filipina
Isu mencuatnya nama Presiden RI kedua, Soeharto yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Partai Golkar menjadi topik menarik pekan ini. Menyusul pengukuhan gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto, yang kemudian ditanggapi Sejarawan Universitas Airlangga, Pradipto Niwandhono.
Menurutnya, momentum unggulnya Prabowo-Gibran serta penyematan gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo merupakan pemantik utamanya.
"Saya rasa ini terkait dengan momen unggulnya Prabowo di Pilpres 2024, jadi kalau yang mengusulkan Partai Golkar sama sekali tidak mengejutkan," ujarnya, Minggu 3 Maret 2024.
Saat Prabowo Subianto nantinya resmi terpilih sebagai presiden, Pradipto mengatakan, tidak menutup kemungkinan hal yang terjadi di Filipina sekarang, akan terjadi di Indonesia. Rehabilitasi terhadap Soeharto dan keluarga Cendana akan terjadi, walau kemungkinannya kecil.
"Seperti juga dengan terpilihnya Ferdinand (Bongbong) Marcos Jr. di Filipina, ini sangat mungkin digunakan untuk merehabilitasi sosok Soeharto dan keluarga Cendana. Namun kecil kemungkinan akan berhasil bahkan jika Prabowo telah menjadi presiden karena akan memunculkan resistensi yang terlalu besar," ungkapnya.
Peraih gelar doktor University of Sydney ini juga menyebut, persoalan layak atau tidaknya Soeharto menjadi pahlawan nasional hanya menghitung waktu saja. Itu karena masih banyak juga saksi hidup yang merasakan penindasan yang dilakukan rezim Orde Baru dan menolak rencana tersebut.
"Untuk saat ini belum (Soeharto diangkat pahlawan nasional) karena masih banyak orang berasal dari generasi yang mengalami penindasan politik antara tahun 1965-1998 yang masih hidup. Tetapi menilai Soeharto secara fair saat ini juga masih sulit, mengingat trauma sejarah yang ditinggalkannya terlalu besar," ucapnya.
Kekuasaan otoriter yang di zaman Presiden Soeharto dan jajarannya selama 32 tahun lamanya akan tetap membekas dan meninggalkan jejak buruk bagi generasi yang mengalaminya.
"Trauma sejarah yang ditinggalkan terlalu besar. Yang pasti adalah kekuasaan otoriter yang berjalan dalam waktu lama meninggalkan mentalitas buruk di kalangan penyelenggara negara yang tidak kondusif bagi demokratisasi," pungkasnya.