Social Distancing...Apa Itu Pak???
Banyak masyarakat biasa yang bertanya kepada saya; apa itu ‘Social Distancing’ seperti yang dianjurkan Pak Jokowi? Pertanyaan ini membuat saya terhenyak, speechless, dan ngelus dada. Langsung terbayang oleh saya bagaimana ajakan seorang Presiden yang baik, tak dapat dicerna oleh rakyatnya.
Terjadi putus komunikasi, atau dalam bahasa okemnya ‘Jaka Sembung’, alias gak nyambung! Antara sang pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya, tidak berada dalam satu bahasa. Dikarenakan keduanya berada dalam posisi dan ruang sosial ekonomi yang berbeda.
Ketika bahasa elite digunakan mewakili pikiran yang elitis untuk menyapa atau berkomunikasi dengan mayoritas rakyat yang masih hidup dalam berbagai kekurangan, terputusnya komunikasi dua arah pasti terjadi. Rakyat pun jadi plonga plongo tak paham apa yang disampaikan dan dimaksud sang pemimpin.
Adegan ini persis seperti saat kita menyaksikan sebuah pertunjukan bitter comedy. Sang pemimpin terus bicara dengan tenang, sementara rakyat melongo, bingung, dan bertanya-tanya dalam hati; maksudnya apa ya?
Saya berusaha menjelaskan dengan menggunakan bahasa lokal dan sejumlah contoh yang sederhana dan mudah dimengerti. Setelah mereka tahu artinya, ternyata masih menyisakan kebingungan. Karena buat orang yang tinggal di kawasan Menteng dan Pondok Indah misalnya, menjalankan anjuran yang elitis itu memang pas dan workable, alias bisa dilakukan dan memungkinkan. Lah bagaimana dengan rakyat yang hidup di lorong sempit dengan rumah yang sangat padat berdempetan?
Apakah Pak Jokowi sudah lupa karena sudah tak pernah lagi blusukan ke kampung-kampung kumuh padat penduduk di Ibu Kota seperti jelang dan saat kampanye Pilpres 2014. Sehingga lupa bahwa rakyat yang tinggal di tempat super padat huni seperti banyak ditemui di berbagai sudut perkampungan di Ibu Kota ini, untuk mengolet dan meliukkan tubuh sekadar streching pagi saja sudah mentok tembok atau papan dinding rumah. Saking sempitnya ruangan rumah, tanpa semeter pun distance (jarak) dengan rumah tetangga sebelah.
Baru saja mereka ke luar rumah, puluhan anak dan tetangga sudah hilir mudik berpapasan dan saling tegur sapa. Tak ada halaman rumah untuk mengambil jarak dengan tetangga di sebelah atau di depan rumah.
Di dalam satu rumah tinggal mereka yang ukurannya tak lebih dari luas kamar mandi rumah-rumah mewah di kawasan Pondok Indah, mereka tempati terkadang hingga enam anggota keluarga. Yang saat waktu tidur tiba, mereka lakukan bak ikan sardencis saling tumpuk dan saling tindih. Tanpa sejengkal pun distance!
Yah kalau sudah lupa blusukan mbok ya minta naik helikopter dan lihat dari udara pemandangan di sekitar mayoritas perkampungan di kota besar Jakarta. Ditambah lagi, saat heli mengudara, sempatkan melongo ke arah stasiun MRT maupun tempat pemberhentian fasilitas angkutan publik. Demi Tuhan Pak, saya yang paham apa itu anjuran melakukan social distance, menjadi seperti terlena dalam hayalan hidup di dunia Alice in the Wonderland. Absurd dan menyedihkan!
Saya koq lebih sreg, merasa dekat dan menyatu dengan bahasa, gaya, gerak, dan berbagai isyarat serta idiom rakyat yang dulu digunakan Pak Jokowi. Tepatnya pada awal masuk istana di masa periode pertama menduduki jabatan presiden. Kesederhanaan dan bahasa apa adanya yang digunakan saat itu, nyambung dengan realita rakyat dan suasana batin rakyat yang dipimpin dan mendukungnya. Namun sayang, semakin Pak Jokowi bersosialisasi dan dikepung orang-orang cerdik pandai, mengapa malah menjadi tidak lebih pandai mengenali realita dan suasana batin rakytanya sendiri?
Dampaknya, saya yang sering diasosiasikan dekat dengan kekuasaan, sering diberondong pertanyaan; siapa sih mas pembisik atau penasehat di sekeliling Pak Jokowi? Pertanyaan ini berkaitan dengan hal-hal yang terjadi di sentral kekuasaan (Istana dan pemerintah) yang belakangan dianggap oleh sebagian pengamat sangat sering berada dalam suasana...’Jaka Sembung...nggak nyambung bro!’. Antara pencitraan, realita, dan harapan, berada di atas dataran yang sama. Juga tanpa distance!
Dalam berbagai amatan, para pembantu Pak Presiden pun masih saja gemar saling berlomba melakukan hal-hal yang lucu dan aneh, tapi nyata. Sengaja saya tidak memberikan contoh kasus, karena peristiwanya bukan lagi merupakan adegan yang langka dan layak diangkat sebagai bahasan. Sehingga jiwa jurnalis saya mengesampingkan hal tersebut untuk dipaparkan, karena sudah menjadi hal atau pemandangan biasa. Saking banyak dan seringnya.
Disharmoni yang terjadi ini, bisa jadi dikarenakan mereka yang seharusnya menerjemahkan anjuran Pak Presiden yang disampaikan dalam bahasanya sendiri, kesulitan untuk mengimplementasikannya dalam ruang kehidupan nyata. Rakyat di perkampungan kumuh memerlukan bahasa dan penanganan pemerintah yang jauh berbeda dari pendekatan dan bahasa yang dilansir oleh istana. Bagaimana Pak Lurah atau Ketua RW dan RT di perkampungan kumuh padat penduduk menerapkan anjuran Social Distancing-nya Pak Jokowi dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya?
Sementara untuk tidak menjalankan anjuran, mereka merasa seperti melakukan pembangkangan yang merupakan tabu bagi seorang anggota Pegawai Negeri Sipil, apa lagi militer. Jalan tengah yang diambil, terpaksa mereka cuek atau belagak tidak tahu atau berlagak seolah belum mendengar anjuran tersebut. Akibatnya, lambat laun sang pemimpin pun kehilangan marwah kewibawaannya, karena sering terlilit teka-teki makna dengan rakyatnya yang masuk dalam kategori ’Jaka sambung’!
Pada dasarnya, komunitas penduduk terbesar yang paling potensial menyebarkan virus Corona COVIC-19 secara masif dan cepat, adalah masyarakat yang tinggal dipemukiman padat. Terlebih di kawasan kampung padat penduduk dan kumuh. Satu saja ada warga yang terjangkit, outbreak-nya akan sangat cepat melebar dan meluas, yang bisa jadi unstopable. Mau di karantina di mana dan rumah sakit mana yang siap menampung luapan penderita yang begitu cepat eskalasi jumlah korbannya.
Tanpa kejelasan langkah apa yang akan diambil oleh Jokowi, jangan sampai timbul anggapan pemerintah sengaja melakukan pembiaran karena mengetrapkan ‘politik genocide’ sebagai pilihan. Tuduhan yang keji dan berlebihan, tapi bukan tidak bisa dikemas menjadi senjata politik oleh mereka yang memang menginginkan terjadinya pergantian kekuasaan. Ditambah lagi masalah ekonomi yang berada dalam situasi tak menentu.
Nilai rupiah dan saham gabungan yang terus melorot, plus kemungkinan sektor riil melambat bahkan bisa setengahnyamandeg, membuat apa-apa yang tidak kita inginkan terjadi, dimungkinkan terjadi. Apalagi bila gerakan yang datang dari luar lingkar kekuasaan, bersambung niat dengan mereka yang sekarang berada dalam lingkaran dalam.
Menjaga segala kemungkinan, maka buat pemerintahan Pak Jokowi sekarang ini, mengambil jarak dengan virus Coroni memang sangat perlu dan harus. Tapi mendekat kepada rakyat dan realita kehidupan mereka, wajib hukumnya. Yah, memang bukan lagi posisi sunnah levelnya, tapi sudah pada tahapan wajib hukumnya!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com.