Soal RUU Omnibus Law Lapangan Cipta Kerja, Ini Kritik GP Ansor
Gerakan Pemuda Ansor menilai, penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tidak mengikuti pola penyusunan undang-undang yang baik dan demokratis. RUU tersebut, dinilai lebih tepat sebagai RUU Omnibus Law Investasi.
Apalagi, dalam penggodokannya, hanya dikonsultasikan kepada publik melalui Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Konsultasi Publik Omnibus Law (Kepmenko Perekonomian No. 378 Tahun 2019) yang melibatkan hampir seluruh asosiasi pengusaha, pengusaha, dan pejabat pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota).
"Konsultasi sama sekali tidak melibatkan asosiasi atau serikat pekerja dan organisasi kepemudaan yang juga ikut menaungi banyak pemuda berusia produktif Indonesia, yang sebenarnya menjadi principal role occupants atau pelaksana norma utama, sekaligus target sesungguhnya dari pemberlakuan RUU ini," tutur Ketua Umum PP GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas.
Hal itu terungkap dalam keterangan resmi ditandatangani bersama Sekretaris Jenderal, Abdul Rochman, pada ngopibareng.id, Selasa 18 Februari 2020.
Kritik GP Ansor disampaikan, dengan penuh pertimbangan situasi dan isu terkini terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Baik melalui pemantauan melalui seluruh Pengurus Cabang (PC) dan Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor di seluruh Indonesia. Termasuk media sosial, media siber, dan media cetak di situational room PP GP Ansor selama 2 bulan terakhir, serta mengkaji secara khusus naskah akademik dan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini secara intensif dan komprehensif.
Dengan pernyataan sikap tersebut, dimaksudkan bisa memberi masukan pada DPR RI sehingga menghasilkan Undang-Undang yang berpihak pada kepentingan rakyat.
GP Ansor melihat, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, yang sebelum diserahkan ke DPR disosialisasikan oleh pemerintah sebagai RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja —sering disingkat Cilaka— merupakan RUU yang tidak jujur.
"Karena dalam pengamatan dan kajian kami, RUU ini lebih merupakan RUU yang menitikberatkan pada investasi dan investor daripada menciptakan lapangan kerja dan para pekerja," tutur Gus Yaqut, panggilan akrabnya.
Ansor juga mencermati bagaimana pemerintah meyakinkan publik agar menerima RUU ini lebih pada argumen “memperbanyak investasi dan menarik investor” daripada narasi bagaimana menciptakan dan mengembangkan lapangan kerja bagi banyak usia kerja produktif Indonesia agar lebih berdaya di era industri 4.0.
Selain itu, GP Ansor mencermati ada komunikasi publik yang buruk dari pemerintah kepada rakyat, dan sebaliknya, hingga akhirnya RUU ini disusun secara tidak jujur.
Menurut GP Ansor, jika pemerintah memiliki komunikasi publik yang baik, rakyat bisa diyakinkan bahwa revisi UU Investasi dan Penanaman Modal agar lebih adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tren ekonomi yang lebih ramah lingkungan (eco-friendly) sekaligus berkelanjutan. Sama pentingnya dengan RUU Cipta Lapangan Kerja yang menjamin dan mengupayakan semua usia produktif Indonesia, khususnya para pemuda, bisa bekerja dan memiliki kehidupan yang baik, sejajar dengan para pekerja di negara-negara maju.
GP Ansor pun juga tidak melihat, membaca, dan mendengar bagaimana Anies Baswedan, Airin Rachmi Diany, Abdullah Azwar Anas, James Riyadi, Didik Rachbini, Erwin Aksa, Joko Supriyono, Pandu Patra Sjahrir, Indroyono Soesilo, dan 117 Anggota Satgas Omnibus Law menyuarakan kepentingan para pekerja maupun pemuda usia produktif terkait RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini.
"Justru mereka sebenarnya lebih lantang di ruang kedap suara memperjuangkan kepentingan investor, pemilik modal, dan pengusaha maupun penguasa," kata Gus Yaqut.
Pada akhirnya, GP Ansor melihat RUU Omnibus Law ini lebih sebagai RUU Obscure Law. Oleh karena itu, GP Ansor mendesak DPR mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah agar dikaji lagi dengan benar.
"Selain itu, pemerintah perlu mengkomunikasikannya dengan baik dengan seluruh pemangku kepentingan, terutama para principal role occupants," kata Yaqut Cholil Qoumas.
Advertisement