Soal Rezeki Halal dan Thayyib dalam Al-Quran, Ini Penjelasannya
Ajaran Islam merupakan pedoman sempurna bagi umat manusia dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk makanan. Dalam Al-Quran Surat Al Baqarah ayat 168, Allah menyeru kepada umat manusia secara universal, tidak hanya orang beriman, agar selektif dalam memilih makanan yang setidaknya harus memenuhi dua syarat utama yaitu: halal dan thayyib.
“Pada Al-Quran Surat Al Baqarah ayat 168, Allah menyeru kepada umat manusia secara keseluruhan agar memiliki makanan yang halal dan yang bagus atau thayyib. Tentu praktik yang diperintahkan ini oleh Allah dijamin mendatangkan keuntungan dalam kesehatan, baik fisik maupun psikis, baik individu maupun sosial,” ujar Aly Aulia dalam Pengajian Tarjih Muhammadiyah.
Halal berasal dari bahasa Arab yang artinya terlepas, terbebas, dan lawan kata dari terikat. Artinya, kata Aly Aulia, barang halal adalah barang yang terbebas, terlepas, dibolehkan untuk diperlakukan, sedangkan lawannya adalah barang yang terikat, tidak boleh diperlakulan. Tidak diragukan bahwa halal adalah lawan haram. Rezeki halal adalah rezeki yang zatnya dan cara memperolehnya diperbolehkan oleh Islam.
Thayyib Berarti baik, proporsional
Sedangkan thayyib mengandung arti baik, proporsional atau berkualitas dan bermanfaat. Makanan yang thayyib itu secara subyektif belum tentu baik dan bermanfaat. Perintah Al Quran agar mengkonsumsi makanan halal dan thayyib menunjukkan kasih sayang Allah kepada semua umat manusia. Mereka diundang untuk mengajaga kesehatan melalui konsumsi makanan. Orang yang membangkang dari petunjuk ini berarti menyengaja membawa dirinya ke jurang kehancuran, yang dalam bahasa agama disebut melaksanakan ajakan setan.
“Thayyib itu sifatnya subyektif. Misalnya, gula mungkin baik bagi sebagian orang tapi kurang baik bagi yang lain. Jadi memang harus proporsional, ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada semua manusia. Kalau membangkang dari petunjuk ini, maka dia sengaja membawa dirinya pada kehancuran,” kata anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini juga menjelaskan, halal dan haram adalah soal boleh dan tidak boleh. Singkatnya, lebih kepada aspek hukum. Sedangkan baik (thayyib) atau buruk adalah sola etika dan kepatutan. Maka, perintah memakan yang halal dan yang thayyib bisa dimaknai sebagai gabungan antara hukum dan etika.
“Tidak semua yang halal itu baik. Misalnya, daging kambing adalah halal tetapi tidak baik bagi orang-orang yang memiliki riwayat dan potensi penyakit kolesterol tinggi. Karenanya, dalam hal makanan dua unsur harus terpenuhi agar mendapatkan kemaslahatan untuk diri sendiri yaitu halal dan thayyib,” ujar Aly.