Soal Nasib Muslim Uighur, NU Takkan Tinggal Diam
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan, pihaknya tak akan tinggal diam terkait nasib Muslim Uighur. Apalagi, bila hal itu menyangkut masalah agama. Begitu pun, PBNU mencoba untuk bersikap menahan diri dalam melihat keadaan, serta penuh pertimbangan.
Pertama, masalah agama. Menurut Kiai Said, pemerintah China menjamin kebebasan rakyatnya dalam beragama. Setiap orang bebas menjalankan agamanya masing-masing. Kebebasan beragama ini ada sejak era reformasi China di bawah Presiden Xi Jinping.
“Saya pun pernah ke sana (China). Banyak yang sudah ke sana, para kiai, tokoh agama menyaksikan bagaimana masjid-masjid dibangun, imam-imam digaji dengan wajar, dan kumpulan orang Islam dipelihara. Shalat, pengajian boleh asal tidak di luar masjid,” jelas Kiai Said, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Selasa 25 Desember 2018.
“Kalau itu sikap politik separatisme, kita paling memberikan masukan. Tidak bisa mengecam karena urusan dalam negeri. Seperti kita kalau ada pemberontakan di Aceh atau Papua, luar negeri jangan ikut campur,” kata KH Said Aqil Siroj.
Pengasuh Pesantren al-Tsaqafah ini menuturkan, dirinya pernah mampir ke rumah Haji Muhammad, seorang Muslim di China. Dari cerita Haji Muhammad, Kiai Said menyebut kalau kondisi umat Islam di China saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan era komunis.
“Bahkan mereka (Muslim China) mendapat dukungan dalam menyebarkan agama Islam, asal tidak mengganggu ketertiban umum,” ucapnya.
Kedua, masalah politik. Kiai Said mengatakan, sejak dahulu kala Muslim Uighur memberontak Kaisar China. Mereka ingin memisahkan diri dari Beijing. Hal itu disebabkan karena Muslim Uighur memiliki gen yang hampir sama dengan Asia Tengah, dari pada dengan mayoritas masyarakat China.
“Kalau itu sikap politik separatisme, kita paling memberikan masukan. Tidak bisa mengecam karena urusan dalam negeri. Seperti kita kalau ada pemberontakan di Aceh atau Papua, luar negeri jangan ikut campur,” jelasnya.
Ia kemudian menceritakan, Indonesia berhasil menaklukkan gerakan separatisme di Aceh dengan tanpa kekerasan, tapi dengan pendekatan kemanusiaan. Indonesia juga memberikan hak-hak kepada wilayah yang hendak pisah tersebut, termasuk ‘hak istimewa.’
Menurut Kiai Said, jika gerakan separatisme dilawan dengan kekerasan maka mereka akan semakin melawan dan memberontak.
"Bagaimana kalau hal ini dilakukan oleh pemerintah RRC terhadap umat Islam Uighur. Bagaimana agar Uighur mendapatkan hak-haknya, dihargai eksistensinya, dihargai haknya, tanpa harus memisahkan diri dari kesatuan RRC," usul Kiai Said atas persoalan Muslim Uighur
Kiai Said menilai, jika persoalan Muslim Uighur adalah persoalan politik maka itu menjadi urusan dalam negeri. Siapapun tidak bisa ikut campur. Namun demikian, Kiai Said memberikan beberapa solusi bagaimana seharusnya pemerintah China menangani persoalan Muslim Uighur.
“Pertama, (Muslim Uighur) diberi kebebasan. Kedua, diakui eksistensinya. Ketiga, diberi kebebasan bekerja atau mengembangkan ekonomi, pendidikan,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Kiai Said, jika persoalan terhadap Muslim Uighur adalah persoalan agama maka semua umat Islam harus bersuara.
“Tapi kalau itu urusan agama, NU tidak akan diam. Kalau penindasan pemerintah China terhadap suku Uighur itu karena Islam, itu kita tidak boleh diam. Kalau urusan politik, ingin memisahkan diri, itu urusan dalam negeri. Itu pun kita harapkan penyelesaiannya dengan baik,” tukasnya.
Sebelumnya, Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia Xiao Qian bersama dengan rombongannya mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta, pada Senin 24 Desember 2018 sore.
Dalam kesempatan itu, Dubes Qian menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dan bagaimana kebijakan China terhadap mereka. Dubes Qian menegaskan, semua masyarakat China dari berbagai suku –termasuk Uighur- memiliki kebebasan dalam beragama.
Dubes Qian mengatakan, persoalan di Xinjiang adalah persoalan separatisme. Ada sekelompok orang yang memiliki rencana untuk membuat Xinjiang berpisah dengan China.
“Tapi demikian masih ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme,” kata Dubes Qian melalui penerjemahnya. (adi)