Soal Jiwasraya, SBY Tak Takut Pansus Hak Angket
Hiruk pikuk soal PT Jiwasraya mengingatkan Susilo Bambang Yudhoyono dengan kegaduhan pansus hak angket Century, saat dirinya menjabat sebagai Presiden ke-6 RI.
Diisukan jumlah dana Rp 6,7 triliun dalam penyelamatan Bank Century semuanya mengalir ke Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009., termasuk para petinggi Partai Demokrat. Dengan gegap gempita karenanya Pansus dibentuk, hak angket digunakan oleh DPR RI.
Berikut ini tulisan lengkap SBY soal Jiwasraya dikutip dari akun Facebook resmi SBY, Senin 27 Januari 2020:
Dewan Perwakilan Rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan investigasi (penyelidikan)
Nafas dan jiwa dari konstitusi kita adalah adanya prinsip “checks and balances” di antara lembaga-lembaga negara yang utama. Di antaranya, adalah antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya, agar tidak ada kekuasaan yang absolut tanpa dicheck atau diawasi oleh kekuasaan yang lain.
Power must not go unchecked. Dalam kaitan krisis keuangan yang terjadi di Jiwasraya, yang berada dalam jajaran pemerintahan (eksekutif), maka sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang kita anut, DPR RI wajib melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Implementasinya, DPR RI bisa menggunakan haknya untuk mengetahui tentang apa, mengapa dan bagaimana penyimpangan di BUMN itu terjadi.
Mengingat besarnya angka kerugian negara serta kompleksitas dan keterkaitan antar lembaga yang terkait, maka agar lebih efektif hasilnya, DPR RI bisa menggunakan hak konstitusional yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, saya berpendapat DPR RI lebih tepat menggunakan hak angket agar penyelidikan dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Jika ingin kasus besar ini dapat diungkap secara gamblang, seraya membuktikan bahwa tidak ada keterlibatan elemen pemerintah dalam penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara belasan triliun rupiah itu, inilah kesempatannya. Karenanya, negara dan Presiden harus membuka diri dan mendukung dibentuknya Pansus dan penggunaan hak angket DPR RI, agar tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya dapat dibuktikan tidak benar. Di era saya dulu, ingat saya 4 kali DPR menggunakan hak angketnya.
Setuju, jangan terlalu dipolitisasi
Sejumlah kalangan mengatakan janganlah kasus Jiwasraya dan Asabri ini terlalu dipolitisasi. Saya sangat setuju. Meskipun, bagaimanapun tak mungkin hal begini akan terbebas sama sekali dari perbincangan politik.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Pansus dibentuk oleh DPR dan hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan atas “bail-out” Bank Century 10 tahun yang lalu. Politik kita luar biasa gaduhnya. Serangan kepada pemerintah dan tentunya saya sendiri juga sangat gencar. Ditambah pula dengan unjuk rasa yang marak, yang digelar di mana-mana. Teriakannya “turunkan SBY-Boediono!”. Sampai-sampai, yang berpikiran jernih berkomentar, sebenarnya kasus Bank Century ini soal hukum, ekonomi atau politik?
Saya jadi ingat pula, dulu pada periode pertama kepresidenan saya, teriakan para pengunjuk rasa adalah “Cabut Mandat SBY-JK”. Mengapa? Mereka, dan lawan-lawan politik saya, melakukan protes karena 3 kali pemerintah menaikkan harga BBM lantaran harga minyak dunia meroket. Padahal kenaikan itu diperlukan guna mengurangi subsidi BBM dalam APBN, dan untuk menyehatkan fiskal kita. Itupun pemerintah lakukan dengan tetap membantu kaum miskin dan tidak mampu (melalui “cash transfer”).
Kembali ke hiruk-pikuk “bail-out” Bank Century, secara jujur harus saya katakan bahwa kegaduhan politik yang melampaui batas itu tentu mengganggu stabilitas politik dan stabilitas sosial kita. Juga mengganggu konsentrasi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Menghadapinya, saya harus tetap bertahan dan harus memimpin jajaran kabinet seraya mengajak semua untuk kuat dan terus bekerja.
Pengalaman yang saya alami itu, melalui artikel yang saya tulis ini, tak perlu terjadi lagi. Tak perlu dialami orang lain. Tak perlu ada gerakan atau teriakan “turunkan Jokowi”. Ingat yang saya katakan sebelumnya ~ janganlah terlalu mudah memvonis atau menghakimi siapapun sebagai bersalah. Apalagi pemimpin kita, Presiden Republik Indonesia.
Dalam keadaan negara seperti ini jangan pula ada “penumpang gelap”, yang punya tujuan dan agenda tertentu. Jangan punya nafsu untuk menjatuhkan pemimpin dan pemerintahan di tengah jalan. Dulu hal begini beberapa kali saya alami. Kekuasaan harus didapatkan secara sah. Kalau tidak halal, Allah tidak akan merahmatinya. Kekuasaan harus didapatkan melalui pemilu. Itu jalan konstitusional yang disediakan oleh negara. Tentu saja pemilu ini harus benar-benar berlangsung secara jujur dan adil. Aparat negara harus netral. Tangan-tangan kekuasaan tak boleh bekerja di luar jalan pemilu yang harus “free and fair” itu.
Indonesia adalah negara hukum. Ada “rule of law”. Mari kita hormati. Rakyat harus menghormatinya. Tentu saja negara dan pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu dalam penegakan “rule of law” itu. Panglimanya hukum, bukan politik. Bukan kekuasaan. Kalau pemerintah tidak memberi contoh yang baik, sebaliknya melanggar dan menyepelekan pranata hukum ini, rakyat akan sangat terluka hatinya.
Ini momentum baik bagi koreksi besar dan perbaikan total
Penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya ini, atau mungkin masih ada lagi yang lain, adalah momentum baik yang disediakan oleh sejarah. Momentum untuk bersih-bersih. Momentum untuk koreksi dan perbaikan total.
Sangat mungkin yang melakukan penyimpangan dan menjalankan manajemen yang buruk juga terjadi di banyak perusahaan. Barangkali sejarah mengingatkan kepada kita semua, janganlah tidak patuh kepada konstitusi, undang-undang, sistem dan aturan yang berlaku. Janganlah kita meninggalkan prinsip-prinsip “good governance” dan “good corporate governance” yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Janganlah para pengawas dan lembaga audit permisif dan tidak sensitif terhadap tanda-tanda adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Janganlah kita bertindak tanpa pemikiran yang matang. Sebagaimana “wisdom” yang saya dapatkan di tanah Sunda (lebih dari separuh hidup saya, saya tinggal di Jawa Barat) yang mengajarkan ... jangan selalu berpikir dan bertindak “kumaha engke”. Tetapi, “engke kumaha”. Maknanya, berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan sebaliknya, gegabah dalam bertindak akhirnya menjadi masalah besar di hari kemudian.
Alhamdulillah, Tuhan masih menyediakan hari esok. Kalau ada kesalahan kita, misalnya apa yang terjadi di PT. Jiwasraya dan mungkin lembaga lain, yang punya dampak besar, mulai saat inilah kita lakukan perbaikan. Insya Allah kita bisa. Indonesia Bisa.