Soal Istilah Pribumi, Yusril Minta Jangan Lupakan Sejarah
Jakarta; Ahli hukum tata negara Prof Dr Yusril Ichza Mahendra mengingatkan agar kita tidak melupakan sejarah atas munculnya istilah "Orang Indonesia Asli" atau Pribumi. Istilah itu muncul dari aturan diskriminatif pemerintah kolonial Hindia Belanda jaman dulu.
"Saya hanya ingin mengingatkan kita semua agar jangan sekali-sekali melupakan sejarah," cuitnya. Persoalan pribumi dan non pribumi kembali mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya isi kesenjangan ekonomi belakangan ini.
Menurutnya, dilihat dari sudut sejarah ketatanegaraan, negara RI bukanlah penerus Majapahit, Sriwijaya atau lainnya, melainkan meneruskan "semi negara" Hindia Belanda. Karena itu aturan peralihan UUD 45 (sblm amandemen) mengatakan segala bhw segala badan negara dan peraturan yg ada masih langsung berlaku seblm diadakan yg baru menurut UUD ini.
Yang dimaksud peraturan yg ada dan langsung berlaku itu, lanjutnya. baik dalam konsepsi maupun dalam kenyataan, bukanlah badan negara dan peraturan zaman Majapahit, Sriwijaya atau warisan penguasa militer Jepang, melainkan badan dan peraturan yg diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Adapun mengenai penduduk Indonesia, peraturan yg ada dan lembaga yg mengurus/menanganinya yg berlaku dan dipahami orang sejak zaman Hindia Belanda adalah peraturan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Indonesia (Hindia Belanda) dalam tiga golongan, yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (terutama Tionghoa dan Arab) dan Golongan "Inlander" atau pribumi atau "orang Indonesia asli" yang pada umumnya beragama Islam dan sebagian menganut agama Hindu, Buddha dan lainnya.
'MOrang Inlander atau pribumi yang beragama Kristen status mereka sama dengan golongan Eropa," tuturnya.
Dalam hal kelahiran dan perkawinan, golongan Eropa dan Inlander (Pribumi) Kristen mereka tunduk pada Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek) dan lembaga yg mengurusinya adalah Burgerlijk Stand (Catatan Sipil). Orang Tionghoa Kristen juga sama.
Sementara bagi Inlander Muslim atau Hindu/Buddha tunduk pada hukum adat masing2 dan tidak ada lembaga negara jajahan Hindia Belanda yg mengurusinya.
''Status sosial, ekonomi dan hukum bagi ketiga golongan ini berbeda. Tiga golongan ini dapat dikatakan seperti urutan dari atas ke bawah. Tempat tinggal mereka dimana-mana juga beda," tambahnya.
Kalau di Jakarta Golongan Eropah tinggal di Weltevreden (sekitar lap. banteng), Mester Cornelis (Jatinegara, Polonia), Sementara Gol Timur Asing Tionghoa mendominasi daerah Pecinan Glodok. Sedangkan Inlander ya tinggal di pinggiran, Krukut, Klender, Condet, Cengkareng dsb.
Ekonomi ketiga golongan ini jelas, Golongan Eropa paling makmur, Golongan Timur Asing lumayan kaya. Golongan Inlander atau pribumi adalah yg paling miskin di antara semua.
Maka tak heran, jika golongan Inlander inilah yg ngotot ingin merdeka karena ketidakadilan dan diskriminasi yg mereka alami di zaman penjajahan.
Dengan latar belakang sejarah ketatanegaraan itu, kita dapat memahami maksud kata-kata dalam draf UUD 45 yang pasal 6 ayat (1) mengatakan "Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam". Kata "beragama Islam" dihapuskan pada tanggal 18 Agustus 45.
Jadi syarat jadi Presiden adalah "orang Indonesia asli" yakni "Inlander" atau pribumi dengan merujuk kepada Ps 163 IS, jadi bukan orang dari Gol Eropa dan bukan pula dari Gol Timur Asing.
Demikian pula pasal-pasal mengenai kewarganegaraan dalam draf pasal 26 yg mengatakan bahwa yang menjadi warganegara Indonesia adalah orang Indonesia asli dan orang2 dari bangsa lain yang disahkan oleh UU menjadi warganegara. (frd)