Soal Godaan Politik Praktis, Ini Wasiat KH Sahal Mahfudh untuk NU
Praktik politik tingkat tinggi di antara adalah melakukan penyadaran hak-hak rakyat, melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pihak manapun, dan memperjuangkan nilai kebangsaan," pesan Kiai Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh.
Tahun depan Indonesia menggelar pesta demokrasi besar, yakni pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilres). Namun, suasana atau atmosfir pesta demokrasi itu sudah terasa hari ini. Semuanya membincang dan ingin terlibat dalam pesta rakyat itu. Bahkan organisasi non-politik juga kerap kali nimbrung dan ikut politik praktis dalam pesta demokrasi itu.
Lalu, bagaimana agar Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan sebuah organisasi Islam, selamat dari praktik-praktik politik praktis?
Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 1999-2014, KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah), mengatakan, NU berpolitik praktis atau tidak itu tergantung pada para pengurusnya. Jika para pengurus tidak bisa lepas dari praktik-praktik politik praktis, maka mereka akan selalu mempolitisasi NU.
“Apabila pengurus NU-nya telah melepaskan politik praktis, tidak akan ada upaya mempolitisir NU,” kata Kiai Sahal dalam sebuah rubrik wawancara di Jurnal Taswirul Afkar Edisi Nomor 25 Tahun 2008.
Dalam beberapa kesempatan, terutama dalam acara Rapat Pleno PBNU di Wonosobo pada 2013, Kiai Sahal menyerukan agar NU melaksanakan politik tingkat tinggi, bukan politik praktis atau dukung-mendukung.
Bagi Kiai Sahal, praktik politik tingkat tinggi diantara adalah melakukan penyadaran hak-hak rakyat, melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pihak manapun, dan memperjuangkan nilai kebangsaan.
Selain itu, Kiai Sahal juga menyebutkan kalau NU harus terus mendorong pengembangan etika berpolitik untuk mewujudkan kehidupan politik yang santun, damai, dan tidak menghalalkan beragam cara.
Pesantren dan politik praktis
Kiai Sahal mengatakan, kunci agar sebuah pesantren selamat dari politik praktis adalah pengasuhnya. Jika pengasuh pesantren cuek dan tidak memiliki idealisme, maka pesantrennya akan terseret dalam gelombang politik praktis.
“Tapi kalau pengasuhnya masih punya pengaruh dan punya idealisme, masih memberikan arahan-arahan pada santrinya, itu bisa terselamatkan,” jelas Kiai Sahal.
“Jadi itu tergantung pada pengasuhnya,” tambahnya. (adi)
Advertisement