Soal Dugaan 'Suster Suntik Mayat', IDI Tak Berani Berkomentar
Beberapa teakhir publik digegerkan dengan maraknya kasus pelanggaran etik yang dilakukan perawat medis maupun dokter di rumah sakit. Setelah sebelumnya muncul kasus pelecehan seksual National Hospital Surabaya, kini adalagi dugaan pelanggaran di Rumah Sakit Siti Khotijah, Sidoarjo.
Kasus yang baru mencuat itu yakni, dugaan suster suntik mayat, berbuntut pada tuduhan pembiaran pasien dan mal praktik oleh dokter di RS Siti Khotijah, Sidoarjo.
Menanggapi hal iu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur Dr Poernomo Budi Setiawan mengatakan, pada prinsipnya masalah yang terjadi di National Hospital dan RS Siti Khotijah bermula dari video di media sosial.
"Kami IDI Jawa Timur sampai dengan saat ini belum menerima laporan resmi. Juga belum mendapatkan permintaan dari pihak berwajib untuk mengklarifikasi," kata Poernomo, di Surabaya, Senin 26 Januari 2018.
Ketika ditanya apakah ada pelanggaran prosedur, Poernomo mengatakan dirinya belum bisa mengidentifikasi dugaan malpraktik di rumah sakit itu.
"Saya belum berani komentar, semuanya sebetulnya ada di rekam medis, dan nanti saat pemeriksaan memerlukan prosedur tertentu," ujarnya.
Menurutnya tiap rumah sakit seharusnya sudah menerapkan prosedurnya, yang baku pada setiap tindakan kedokterannya.
"Tiap rumah sakit pasti punya prosedur tiap tindakan sekecil apapun, misalnya menanyakan 'Pak, saya akan beri suntik. Pak, saya akan memberikan obat, apa bapak bisa minum sendiri?' dan juga menanyakan identitas pasien, itu harus setiap kali," ujarnya.
Poernomo mengtakan kesalahan bisa saja terjadi, dalam suatu kasus, pasien tiba-tiba berpindah tempat dengan alasannya sendiri.
"Pasien pindah tempat, 'karena tak nyaman di sini, aku pindah sana' dan hal-hal semacam itu bisa saja terjadi, di seluruh dunia, akibatnya identitas pasien pun tak jelas, peran rumah sakit harus mengecek ataumenanyakan," ujarnya mencontohkan.
Ia mengatakan, pelanggaran seorang dokter itu bisa ada tiga hal, yakni, satu etika profesi, ini bisa IDI tangani.
Namun pada pelanggaran disiplin ilmu dan pelanggaran hukum, dua poin itu, kata Poernomo tak bisa ditangani IDI secara langsung, harus ada permintaan pihak terkait atau pihak penegak hukum.
"Untuk disiplin ilmu kedokteran, biasanya kami melihat apakah pelanggaran itu menyangkut pelaksanaan profesi. Apakah sudah melaksanakan suatu protokol yang baik pada suatau tugas kesehatan profesi yang dilakukan. Tapi kalau pelanggaran hukum harus melalui pihak penegak hukum, karena kami bukan investigator," kata dia.
Maka secara umum, yang IDI dalami adalah masalah etika profesi. (frd)