Soal DPT, I-Voting IA-ITB dan Marwah Demokrasi
Oleh: Hanief Adrian
Isu yang beredar dua minggu belakangan soal pemilihan Ketua Umum IA-ITB (Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung) sudah makin beragam, ada yang meragukan keamanan data pribadi kependudukan yang harus dicantumkan dalam sistem i-voting, ada yang mengeluh soal verifikasi data yang mengharuskan ada video ala anak gaul.
Ada pula yang meragukan legitimasi panitia karena dibentuk oleh Pengurus Pusat yang masa jabatannya sudah berakhir sejak Januari 2020, karena Ketua Umum Ridwan Djamaluddin yang terpilih sebagai formatur pada bulan Januari 2016 memiliki masa jabatan selama 4 tahun menurut AD-ART.
Saya memilih tidak mengomentari Panpel Kongres IA-ITB yang konon sudah dibentuk melalui SK bulan Desember 2019 namun baru terlihat batang hidungnya pada bulan Januari 2021, saya lebih menyorot bagaimana Pengurus Pusat IA-ITB mempersiapkan kongres periodik dalam rangka memilih ketua umum yang baru.
Tentang I-Voting IA-ITB
Berawal dari aspirasi IA-ITB 89 yang sukses memilih ketua dengan metode e-voting, bergeraklah sebagian alumni mendorong metode i-voting menjadi salah satu kanal pemilihan umum dalam Kongres IA-ITB 2011.
Namun karena metode i-voting tidak dikenal dalam konstitusi paguyuban alumni ITB, maka sistem ini diadopsi dalam Kongres Luar Biasa IA-ITB bulan Maret 2014 yang mencantumkan metode remote voting sebagai ‘salah satu’ cara memilih, jika dan hanya jika pemilih tidak bisa hadir dalam Kongres.
Pengurus Pusat IA-ITB 2011-2015 di bawah pimpinan Ketua Umum Sawalluddin Lubis kemudian membentuk panitia Kongres 2016 yang dipimpin Hendry Harmen. Kongres sendiri dijadwalkan pada bulan Januari 2016 karena pada tanggal bulan Desember 2015 periode Pengurus Pusat pimpinan Ketua Umum Sawalluddin yang melanjutkan Ketua Umum Sumaryanto Widayatin (terpilih tanggal 3 Desember 2011) sudah berakhir.
Alinea sebelumnya adalah catatan penting, karena menjalankan metode baru dalam pemilihan umum memerlukan legitimasi kuat dari para pemilih, yang dasarnya adalah keputusan organisasi legal.
Berapa jumlah pemilih yang terdaftar dalam sistem i-voting tahun 2016 tersebut?
Dalam catatan media tempo.com, total pemilih yang mendaftar berjumlah 14.609 orang, itu pun setelah Panitia Pemilihan Umum dan para timses melakukan verifikasi daftar pemilih tetap (DPT) yang totalnya mencapai 20 ribu lebih. Sekitar 5 ribu nama dihapus dari DPT karena terdaftar berulang, atau terlihat aneh.
23 Januari 2016, sidang untuk memilih Ketua Umum seharusnya dibuka pada pukul 08.30 WIB, namun molor hingga pukul 12.15 WIB. Adalah protes keras dari Tim Sukses Ridwan Djamaluddin yang meragukan kredibilitas sistem i-voting.
Akibat protes keras ini, maka turunlah jumlah pemilih yang sedianya berjumlah 14 ribu orang menjadi 11.251 orang. Ridwan Djamaluddin, yang meragukan sistem i-voting ini justru memenangkan pemilihan umum dengan total suara 3.502 suara dalam i-voting. Sementara kandidat lainnya, Hiramsyah S. Thaib memenangkan pemilihan umum di TPS darat.
Sengketa kemudian terjadi karena timses lain tidak menerima hasil pemilihan umum. Kisruh hasil pemilu tersebut cukup panas, ditambah surat pernyataan dari kandidat Ridwan Djamaluddin yang meminta Kongres IA-ITB segera melantik dirinya sebagai Ketua Umum IA-ITB. Sebuah pernyataan yang unik mengingat sang kandidat awalnya menolak keras menjalankan metode i-voting.
Mahkamah Pemilu IA-ITB menyelesaikan sengketa tersebut dengan damai, seluruh kandidat menerima kemenangan Ridwan Djamaluddin dengan catatan selama satu tahun akan dilakukan audit menyeluruh sistem i-voting 2016, dan Pengurus Pusat berkewajiban menyampaikan hasil audit tersebut tepat satu tahun setelah keputusan Mahkamah ditetapkan.
Dan sampai hari ini, sudah lewat lima tahun sejak Mahkamah Pemilu IA-ITB 2016, hasil audit tersebut belum diumumkan oleh Pengurus Pusat IA-ITB pimpinan Ridwan Djamaluddin.
I-Voting Adalah Sistem yang Kompleks
Dalam webinar yang diselenggarakan Komunitas Spirit Indonesia mengundang para pakar IT (salah satunya dosen ITB Budi Rahardjo dari Tim Audit i-voting IA-ITB) dalam rangka membahas sistem pemilu i-voting, salah satu catatan pentingnya adalah sistem i-vote adalah sistem yang kompleks.
Bayangkan, lebih dari 120 ribu manusia yang pernah terdaftar sebagai mahasiswa ITB baik program diploma, sarjana dan pascasarjana harus diverifikasi, benarkah ia alumni ITB, apakah masih hidup, apakah memiliki lebih dari satu nomor induk mahasiswa karena mengikuti lebih dari satu program akademik ITB?
Sistem yang kompleks tentu perlu dipersiapkan dengan penuh ketelitian, apalagi sistem i-voting yang tidak mungkin ditargetkan diikuti 25 ribu pemilih sebagaimana yang dinyatakan Panitia dalam berbagai webinar. Membatasi hak pemilih yang fasilitasnya wajib dipenuhi oleh Panitia saja sudah salah.
Sementara, mengadakan TPS darat kecil kemungkinannya, Panitia Kongres IA-ITB 2021 ini sudah menetapkan tidak akan membentuk TPS darat demi mengurangi penyebaran wabah Covid-19.
Tapi dari kejadian sebelumnya, kita tentu mafhum apa sebabnya i-voting mengalami kisruh seperti ini?
Dari mulai tidak diumumkannya hasil audit i-voting 2016 dan sedemikian lambatnya rentang waktu pengesahan penyelenggaran Kongres IA-ITB pada Desember 2019 namun baru bisa dilaksanakan mulai Januari 2021, dengan alasan pandemi, tentu kita bisa menilai bagaimana kinerja Pengurus Pusat IA-ITB yang seharusnya sudah berakhir bulan Januari tahun lalu.
Mengembalikan Marwah Demokrasi
Dalam catatan sejarah bangsa kita, civitas academica dan alumni ITB adalah pelopor dalam peningkatan marwah demokrasi. Prinsip demokratis, independen dan intelektual organisasi kemahasiswaan pertama kali dirumuskan di Aula Barat ITB saat masih bernama Universitas Indonesia cabang Bandung dalam sidang Dewan Mahasiswa UI tahun 1955 yang saat itu dipimpin Emil Salim.
Pemilihan Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB periode 1977-1978 adalah pemilihan umum pertama yang menggunakan sistem one man one vote (OMOV) dalam rangka kritik sistem pemilihan Presiden RI melalui sidang umum MPR yang sarat rekayasa.
Pada tahun 1997, Kongres IA-ITB menggunakan sistem OMOV dalam pemilihan Ketua Umum yang dimenangkan Cacuk Sudarijanto, dan IA-ITB adalah organisasi kemasyarakatan pertama yang menggunakan sistem OMOV dalam memilih pemimpinnya.
Apakah kepeloporan komunitas ilmiah ITB dalam peningkatan marwah atau kehormatan dan kemuliaan demokrasi kita, menjadi dipertanyakan dalam peristiwa pemilihan umum tahun ini? Kita tentu berharap tidak.
*Hanief Adrian, Alumni ITB, PL 2003