Soal "Ateisme-Religius", Ini Ragam Tanggapan Kaum Intelektual
Masalah keragamaan di masyarakat Indonesia, beberapa waktu terakhir diusik gagasan sejumlah intelektual yang mengamati masalah sains dan ateisme. Hal itu menjadi perhatian perbagai kalangan di masyarakat.
Sastrawan Joni Ariadinata, di antara yang bicara soal itu. Menurutnya, ateis yang sinis terhadap pemeluk agama yang menjalankan agamanya dengan memakai ilmu biasanya cuma ateis-ateisan, atau sejenis ateis mualaf yang kecewa terhadap agama karena urusan pribadi.
Sebab, bagi Joni, ada juga pemeluk agama yang tanpa ilmu, sehingga merasa benar sendiri. Sedang munculnya ateisme pada diri seseorang, misalnya ia merasa kecewa karena menganggap Tuhan tak mengabulkan doanya/ hidupnya menderita).
"Atau, ada juga jenis ateis gaya-gayaan biar disebut keren. Nah, yang jenis ini juga biasanya akan cenderung merendahkan agama karena dengan itu ia merasa keren," kata Joni, menanggapi tulisan Ulil Abshar Abdalla berjudul "Bersahabat dengan Seorang 'Ateis-Relijius'"
Sedangkan ateis sufi (ateis sejati), menurut Joni, mereka justru bisa sangat terbuka untuk memahami keyakinan yang dianut oleh orang lain. Mereka juga bisa memilah, mana pemeluk agama yang bodoh dan radikal, dan mana pemeluk agama yang benar-benar memahami esensi beragama.
"Saya juga memiliki teman yang ateis beneran dan yang ateis-ateisan, dan keduanya sangat nyata bedanya," tutur di akun facebooknya, Jumat 26 Juni 2020.
Menanggapi hal itu, Ulil Abshar Abdalla mengatakan, "Menarik pengalaman Mas Joni ini. Memang pada akhirnya, kedalaman pemahaman dan sikap rendah hati, itu yg membedakan mana yg beneran, mana yg mau-bener-sendiri.".
Akademikis Universitas Islam (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Muhammad Khodafi menulis, "Di negara maju dan modern pun ternyata pemimpin komunitas keagamaan dan tempat ibadahnya sangat strategis. Kenapa di sini banyak intelektual tidak menganggap masjid sebagai aspek yang sangat strategis? Kita masih sering mengandalkan asrama/pesantren dan sekolah agama. Padahal dalam prakteknya sekarang ini justru tempat ibadah menjadi salah satu wadah paling strategis."
Sementara aktivis keserasian jender, Faqih Abdul Kodir ungkapan Ulil Abshar Abdalla sebagai "pengalaman yang tidak bisa ditemui kebanyakan kita".
"Kalau aku mas, di Syria, sekamar dengan orang yang secara aqidah tidak pluralis, menganggap kafir semua yang beda, termasuk Syiah, dan siap perang. Tapi sehari-hari perangainya baik, sopan, dan melayani, termasuk kepada orang syiah yang dia anggap kafir itu. Ketika aku tanya, kenapa, apakah ini taqiyah, jawabnya di luar dugaanku: agamaku menyuruh aku berbuat baik siapapun, termasuk orang kafir, dan sekarang bukan kondisi perang.
"Tetapi jika kondiainya perang, aku siap membunuh mereka pertama kali. Waduh, gimana ini mas. Oksimoron betul kan? Atau gimana? Kompleks sekali manusia itu. Temenku itu orang Pakistan, sunni, keluarganya (kata dia), banyak terbunuh katena konflik sektarian di negaranya. Aku hanya coba memahaminya, tanpa berdebat," kata Faqih Abdul Kodir.
Rois Faisal menambahkan, "Saya sih memaklumi kesinisan para saintis ateis kepada orang-orang beragama sama seperti saya memsklumi kesinisan islam kepada kelompok atau agama di luar islam, bahkan islam pun menjuluki orang-orang yang menyembah Tuhan melalui lantaran berhala sebaga golongan orang-orang bodoh, hal yang jika diucapkan saintis kepada umat beragama bisa dituduh pongah..."
Tertarik dengan tulisan pengalaman Ulil Abshar Abdalla, Fitzerald Kennedy Sitorus memberikan tanggapan:
"Mungkin tepat juga dikatakan: ateis-spiritualis. Ateis tapi memberikan perhatian kpd halĀ² kerohanian, spiritual. Spiritualitas itu melampaui religiusitas, karena religiusitas sdh terikat pd lembaga agama (religi) tertentu. Tentu, banyak orang ateis, tidak memiliki religiusitas, tapi sangat spiritual..."
Pada bagian lain, Ulil Abshar Abdalla menegaskan, "Fitzerald Kennedy Sitorus, Saya sengaja memilih istilah "relijius" di sini karena Ibu Papanek ini bergabung dg gereja, Bung Fitzerald. Ndak beda dengan Romo Johannes Silentio yg bukan hanya bergabung dg gereja, bahkan menantunya pendeta. Kalau di NU, dia sudah jadi "gus" itu".
Sementara penaggap yang lain, Luthfi Wildani mengatakan, "5 tahun yang lalu saya pernah menghadiri lecture Gustav Papanek, Gus Ulil, tentang ekonomi. Alhamdulillah dapat buku gratis karya beliau dan tanda tangan beliau juga, hehe".
Saiful Rahman berkomentar, "Menurut saya dia itu atheis humanis. Dia memandang ritual agama di gereja itu sebagai kegiatan sosial masyarakatnya yang harus ia dukung. Kebetulan masyarakat yang didukungnya adalah masyarakat theis yang toleran. Atheis humanis seperti dia di indonesia juga banyak, kok."
Advertisement