SMS Hary Tanoe Sama Sekali Tidak Mengancam Jaksa Yulianto, Tapi…
"Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."
Tulisan di atas dikirim oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Yulianto, Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, 5 Januari tahun lalu. Gara-gara SMS itu Hary Tanoe kini jadi tersangka.
Sekarang memang polisi sedang gampang-gampangnya menjadikan seseorang sebagai tersangka, ibaratnya semudah orang mau beli pulsa. Rasanya tidak ada unsur ancaman pada Yulianto, apalagi apabila tudingan Hary Tanoe melalui SMS itu benar, bahwa jaksa Yulianto bertindak semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power.
Saya berpendapat, Hary Tanoe sama sekali tidak mengancam Yulianto. Tetapi ia mengancam Bangsa Indonesia. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Dia sangat yakin akan menjadi pemimpin. Tetapi maaf, kita mungkin beda pendapat, menurut saya Hary Tanoe tidak layak menjadi pemimpin negeri ini. Dia adalah seseorang yang mempunyai banyak masalah.
Tahun 2007 Hary Tanoe menggugat PT Astro ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) karena operator TV kabel itu dianggapnya melakukan monopoli tayangan langsung Liga Inggris. Saat menangani perkara ini, seorang anggota KPPU, M Iqbal ditangkap KPK karena menerima uang suap Rp 500 juta dari Billy Sindoro, Presdir PT First, anak usaha Lippo yang menaungi Astro. Dampaknya pihak tergugat Astro kalah dalam perkara ini, Hary Tanoe menang dan akhirnya Astro tutup.
Kini, Hary Tanoe melakukan hal yang apabila ditelusuri dengan teliti, juga membuka peluang untuk dilaporkan kepada KPPU karena telah melakukan monopoli penyiaran. Hary Tanoe adalah pemilik RCTI, Global TV, MNC-TV serta I-News, dan melalui MNC Sky Vision dia juga pemilik beberapa TV kabel antara lain Indovision, Okevision dan TOP-TV.
Di dalam Indovision, Okevision dan TOP-TV terdapat banyak sekali chanel antara lain MNC Intertainment, MNC Infotainment, MNC World News, MNC News, MNC Shop Smart, MNC Shop Trendy, MNS Muslim, MNC Lifestyle, MNC Fashion dan MNC Sport. Semua diambil oleh perusahaan Hary Tanoe, dan tidak memberi kesempatan kepada yang lain.
MNC-TV tadinya bernama TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) milik Siti Hadiati Soeharto yang diluncurkan di jaman Orde Baru. Setelah revormasi, dengan bentuk kerjasamanya yang pelik, akhirnya Mbak Tutut menyerahkan pengelolaannya kepada Hary Tanoe, yang kemudian mengubah namanya jadi MNC (Media Nusantara Citra).
Di tengah jalan kerjasama itu berubah jadi sengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dan berhasil dimenangkan oleh pihak Hary Tanoe pada Desember 2014. Mbak Tutut melakukan banding, dan menang. Atas putusan banding ini Hary Tanoe balik mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi inilah November 2014 Mahkamah Agung malah kembali memenangkan Mbak Tutut. Diperlukan waktu selama 12 tahun oleh Mbak Tutut untuk mengambil kembali TPI.
Tapi hingga sekarang TPI tetap tidak dapat melakukan siaran, karena frekwensinya masih dipakai MNC milik Hary Tanoe. Meskipun demikian, Hary Tanoe sudah mempersiapkan stasiun pengganti apabila nantinya MNC tidak dapat tayang karena frekwensinya dipakai TPI. Stasiun TV baru itu bernama I-News TV yang sudah sekitar 2 tahun on air . Apakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki jawaban apabila ada yang bertanya soal I-News ini?
Pertengahan bulan Februari lalu, atau tepatnya sehari sebelum Pilkada Gubernur DKI putaran pertama. Mantan Ketua KPK Antasari Azhar mendatangi Bareskrim untuk melaporkan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang menjeratnya, dengan menyebut kasus itu merupakan kriminalisasi dan meminta mantan presiden SBY untuk jujur mengakui adanya kriminalisasi itu.
Menurut Antasari, saat itu Cikeas (kediaman keluarga SBY) mengutus Hary Tanoe untuk menemui dirinya dan meminta agar KPK jangan menahan Aulia Pohan, mertua Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Benar atau tidak pengakuan Antasari yang hingga sekarang tidak diketahui kelanjutannya ini, nama Hary Tanoe sudah terseret dalam arus masalah.
Terakhir, sepengatahuan atau tanpa sepengetahuan Hary Tanoe, PT MNI (Media Nusantara Innformasi)) sebagai bagian dari Grup MNC miliknya, telah secara sepihak mem-PHK wartawan/fotografer/karyawan Koran Sindo di beberapa daerah. Jumlah mereka total sekitar 300 orang.
Saya menganggap PHK sepihak ini sebagai kebijakan yang sadis, karena surat PHK itu sepertinya diperhitungkan agar sampai ke tangan 300 orang di berbagai daerah itu tepat pada malam takbiran. Sebagian besar mereka beragama Islam. Setelah sebulan mereka berpuasa, ketika itu mereka sedang bersiap-siap berlebaran dengan keluarga di kampung halaman mereka.
Tapi boro-boro mendapat THR (Tunjangan Hari Raya) seperti yang diterima buruh-buruh pabrik, justru yang diterima wartawan/fotografer/karyawan Koran Sindo itu adalah surat PHK. Surat PHK itu bertanggal 22 Juli 2017, atau tiga hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Mungkin saja saat ini Hary Tanoe sedang berkonsentrasi membesarkan Partai Perindo (Persatuan Indonesia), sehingga tidak mengetahui ada keresahan dalam salah satu perusahaan miliknya. Persoalan poliitik nampaknya lebih menyita perhatiannya dibanding kemaslahatan karyawan.
Partai yang dideklarasikan tanggal 2 Februari 2015 itu memang sedang dipersiapkan menjadi salah satu kontestan Pemilu 2019. Apabila Perindo dapat memperoleh suara di atas 5 persen, syukur-syukur bisa mendapatkan suara sekitar 8 juta sebagaimana yang didapat Partai Nasdem (Nasional Demokrat) pada Pemilu 2014 lalu, setidaknya dia akan menjadi salah satu orang yang berpengaruh pada pemerintahan mendatang, sebagaimana sekarang ‘owner’ Partai Nasdem Surya Paloh punya pengaruh dalam pemerintahan Presiden Jokowi.
Menurut saya, rekam jejak politik Hary Tanoe memang menapak tilas langkah-langkah politik Surya Paloh. Mendirikan lebih dahulu organisasi Nasional Demokrat. Setelah terbentuk kepengurusan organisasi ini hingga daerah, lantas didaftarkan ke Kemenhuk HAM sebagai parpol. Proses Perindo dari organisasi menjadi parpol mirip proses yang dilalui Nasdem.
Kampanye Nasdem yang dilakukan secara masif oleh Surya Paloh melalui Metro-TV, disengaja atau tidak telah diadopsi oleh Hary Tanoe dengan lebih intensif lagi melalui RCTI, Global-TV dan MNC-TV.
Posisi seperti Surya Paloh yang bisa menempatkan orangnya menjadi Jaksa Agung, mungkin dalam jangka pendek ingin diraih Hary Tanoe melalui Pemilu 2019. Sedang jangka panjangnya, silahkan Hary Tanoe sendiri yang menjawabnya.
Tapi menurut saya, maaf kalau pendapat saya salah, Hary Tanoesoedibjo dengan berbagai masalahnya tadi akan menjadi ancaman bagi bangsa apabila akhirnya dia menjadi penguasa di negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan, kata Hary Tanoe melalui SMS kepada jaksa Yulianto. Tentu saja pendapat saya ini tidak mutlak kemungkinan benarnya. (m.anis)