Smart Bangkit
Surabaya tahun ini gagal masuk dalam daftar smart city alias kota pintar di dunia. Dari Indonesia, kota yang masuk dalam Smart City Index (SCI) 2023 adalah Jakarta, Medan dan Makassar.
Ada 141 kota seluruh dunia yang menjadi obyek penilaian IMD World Competitiveness Center. Jakarta menduduki urutan 102, Medan 112 dan Makassar 114 dalam daftar kota pintar se dunia. Kota yang selama ini sangat inovatif seperti Badung juga gagal masuk dalam SCI 2023.
Mengapa Surabaya tidak masuk? Padahal, ibukota Provinsi Jawa Timur ini dikenal sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta. Selama ini juga dikenal banyak inovasi di bidang layanan pemerintahan yang memanfaatkan internet.
Yang pasti, SCI ditentukan berdasarkan persepsi publik terhadap isu-isu yang berkaitan dengan struktur dan teknologi aplikasi yang tersedia di kota mereka. Pilar struktur mengacu kepada infrastruktur kota. Sedangkan pilar teknologi menyangkut penyediaan layanan dan teknologi masyarakat.
Tidak masuknya Surabaya ke dalam SCI 2023 sempat membuat kaget Menteri BUMN Eric Thohir. Ia pun menyemangatinya dengan menyatakan fakta ini sebagai peluang. Ia merekomendasikan agar Surabaya bisa menggandeng China untuk mewujudkan smart city. Telkom bisa menggandeng Huawei dan ZTE untuk penyediaan infrastruktur.
Tapi, saran menteri yang juga Ketua Umum PSSI ini bukan sesuatu yang mudah. Sebab, Surabaya telah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomro 5 Tahun 2017 Tentang Jaringan Utilitas. Perda ini terkait erat dengan persoalan pembangunan infrastruktur teknologi kota.
Sebelum Perda tersebut lahir, telah ada Perwali yang mengatur hal sama. Keduanya mempunyai spirit yang sama: Melakukan pengaturan terhadap pembangunan infrastruktur jaringan di dalam kota Surabaya. Salah satu poin yang dinilai menjadi penghambat adalah kewajiban sewa terhadap barang milik daerah.
Jadi ada dua kewajiban yang harus diselesaikan oleh provider yang akan membangun jaringan di dalam kota Surabaya. Sewa atas barang milik daerah dan jaminan pemeliharaan terhadap barang milik daerah setelah pembangunan jaringan. Dua poin ini yang dianggap memberatkan provider yang bergerak di bidang jaringan teknologi.
Sebetulnya, Surabaya pernah menjadi pionir dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam layanan publik. Misalnya, penerapan sistem pengadaan barang secara elektronik, command centre yang bisa memantau berbagai kawasan melalui balaikota, dan inovasi pengadaan free wifi untuk beberapa kawasan publik.
Namun, berbagai inovasi di bidang teknologi tampaknya tidak boleh berhenti. Ia harus terus berkelanjutan sesuai dengan perkembangan teknologi sekaligus perubahan perilaku masyarakat. Ketika akses terhadap teknologi informasi semakin besar, maka tuntutan akan inovasi baru di kota tersebut akan semakin besar.
Kemudahan investasi juga mesti menjadi perhatian. Jika apa yang dikeluhkan seorang pengamat kebijakan publik Riant Nugroho benar, maka Surabaya memang harus berbenah dalam hal ini. Riant, seperti dikutip Jawa Pos, langsung menghubungkan tidak masuknya Surabaya karena misinterpretasi terhadap kebijakan yang tidak ramah investasi pembangunan jaringan teknologi.
Ia menyoroti tentang kewajiban sewa terhadap semua lahan yang dilalui jaringan teknologi seperti fiber optic. Bahkan, dalam penerapan aturannya, Riant menilai Pemkot Surabaya pernah melakukan pemotongan paksa jaringan telekomunikasi yang dibangun salah satu provider. Pemotongan paksa ini merugikan masyarakat karena terjadi gangguan massal akibat pemotongan tersebut.
Ada banyak celah kosong dari Perda tersebut. Apa yang dimaksud dengan barang milik daerah dalam kaitannya infrastruktur telekomunikasi. Apakah fasilitas umum dan fasilitas sosial termasuk di dalamnya? Apakah jalan umum juga akan dikenakan sewa untuk kasus ini?
Kalau hal itu benar-benar terjadi, tentu akan muncul multitafsir dalam pelaksanaannya. Kecuali, pemerintah kota telah mampu menyediakan jaringan telekomunikasi yang bisa mempermudah dan memperlancar akses publik. Atau pemerintah telah menyiapkan infrastruktur dasar untuk pembangunan jaringan telekomunikasi digital. Misalnya, menyiapkan ducting bawah tanah atau di dalam infrastruktur gorong-gorong atau box culvert.
Penyediaan ducting seperti ini tentu akan membuat pembangunan infrastruktur telekomunikasi digital menjadi lebih tertata dan memungkinkan menerapkan sewa kepada semua provider. Pembangunan memang bukan semata kecerdasan dalam membuat inovasi, tapi juga pemihakan terhadap infrastruktur dasar yang mempermudah layanan publik.
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya AH Thony mengakui adanya Perda tentang Jaringan Utilitas itu. Namun, ia tak menduga jika penerapan Perda tersebut berdampak besar terhadap investasi jaringan telekomunikasi di kota ini. Ia juga tidak menduga jika masalah tersebut sampai membuat gagalnya Surabaya masuk dalam Smart City Index 2023.
Ia sempat jengah juga ketika mendapat kabar Surabaya tak masuk dalam SCI 2023. Namun, seperti juga Menteri Eric Tohir, ia berharap peristiwa ini menjadi pembelajaran penting untuk membangun Surabaya. Menjadikannya sebagai tantangan untuk pencapaian kinerja yang lebih baik. Mendorong untuk terus berinovasi dalam melayani warga.
Orientasi melayani warga ini juga yang ditekankan Walikota Eri Cahyadi. Ia tak ingin kinerjanya hanya berorientasi untuk mendapatkan penghargaan seperti masuk dalam SCI. Jelas ini tekad yang sangat baik. Namun, karena penilaian CSI ini atas dasar persepsi penduduk, rasanya perlu mendapat catatan agak serius.
Ia pasti menyimpan banyak gagasan untuk menjadikan Surabaya sebagai smart city. Gagasan yang dieksekusi menjadi program dengan output dan outcome yang bisa langsung dirasakan warganya. Termasuk gagasan-gagasan di bidang pembangunan infrastruktur digital yang perkembangannya makin cepat.
Apa pun politik adalah persepsi. Dan persepsi tak hanya bisa dibangun dengan kata-kata. Perlu kecepatan eksekusi, apalagi yang hasilnya membikin warganya bahagia. Saatnya Surabaya menjadi smart bangkit seperti tagline kota yang kini sedang digencarkan di berbagai pojok kota.