Small is Not Beautiful
JABATAN CEO kini identik dengan kepusingan. Tak terkecuali CEO perusahaan yang dulu begitu tinggi gengsinya: Singapore Airlines.
Disway hari ini hanya saya isi dengan terjemahan langsung surat seorang CEO yang lagi pusing. Mungkin sudah banyak CEO di Indonesia lebih pusing. Mereka mungkin juga sudah membuat surat serupa. Tapi saya tidak menyangka CEO perusahaan sehebat Singapore Airlines sampai harus menulis surat ke seluruh karyawannya seperti ini.
Kalau kebetulan Anda punya CEO yang juga mengirimi surat kepada Anda, bandingkan bunyinya, gayanya dan isi pesannya. Anda akan bisa menilai gaya kepemimpinan seperti apa CEO Anda itu:
***
Kolega-kolega tersayang,
Ketika perlawanan atas Covid-19 dimulai awal tahun ini, tidak ada di antara kita yang bisa memprediksi pengaruh buruknya pada industri penerbangan secara keseluruhan.
Delapan bulan kemudian jumlah perusahaan penerbangan yang kolaps terus meningkat.
Belum juga jelas siapa yang masih akan benar-benar mampu untuk melewati krisis ini.
Setiap perusahaan penerbangan, perusahaan bandara sampai industri pembuat pesawat, dan pemasoknya masing-masing mencari langkah untuk memotong biaya –termasuk mencari cara untuk mengurangi jumlah karyawan dan staf– untuk menyiapkan masa depan yang tidak pasti.
Sejak awal Singapore Airlines Group memprioritaskan untuk mengamankan sebanyak mungkin lapangan kerja.
Kita termasuk yang pertama-tama mencari dana untuk mengamankan kebutuhan keuangan. Sampai hari ini kita sudah mencari dana sebesar 11 miliar dolar (sekitar Rp 120 triliun, red) melalui penjualan saham baru, pengamanan dana, dan jaringan kredit lainnya. Kita masih terus menggali kemungkinan sumber dana yang lain lagi.
Grup kita sudah mengurangi biaya modal dan biaya operasional sejak awal Covid-19 dengan cara menunda proyek yang tidak mendesak, bekerja sama dengan pemasok dan partner untuk mengurangi biaya, menunda pembayaran, dan menyesuaikan jadwal penerimaan pesawat baru.
Kita juga sudah mengusahakan untuk memotong gaji karyawan dan pensiun suka rela tanpa dibayar.
Ini adalah waktu yang sangat berat dan kita sangat menghargai pada semua kolega yang sudah mau ikut sengsara. Kita juga sangat berterima kasih kepada pemerintah Singapura yang telah terus menambah dukungannya kepada Singapore Airlines.
Meski begitu masa depan tetap saja masih sangat menantang. Pandemi ini masih belum juga bisa dikendalikan. Beberapa negara justru mengalami pandemi gelombang kedua dan ketiga. Kita masih belum punya vaksin. Penjagaan perbatasan antar negara masih diberlakukan dengan sangat ketat. Dan lagi pemerintah juga masih terus berusaha untuk jangan sampai terjadi kasus-kasus Covid-19 yang datang dari luar negeri.
Perkembangan ekonomi dunia masih anemia, suram. Hanya sedikit ada tanda-tanda menggeliatnya sektor pelesir dan perjalanan internasional.
Kita mengalami sebuah bencana besar, terjadinya penurunan jumlah penumpang sampai 99,5 persen di empat bulan pertama tahun ini. Sampai hari ini Singapore Airlines hanya mengoperasikan pesawat 8 persen dari jumlah pesawatnya, dibanding masa sebelum Covid-19. Perkiraan kita tidak akan sampai 50 persen kalau dihitung satu tahun fiskal ini.
Sementara ini, perkiraan keadaan mengatakan situasi perjalanan udara justru semakin buruk. Dan diperkirakan perbaikan di bidang perjalanan udara belum akan pulih sampai tahun 2024.
Secara relatif, dibanding dengan umumnya perusahaan penerbangan di dunia, posisi Singapore Airlines Group justru lebih rentan. Itu karena kita tidak memiliki pasar domestik, yang bagi banyak negara lain itu bisa jadi pengungkit untuk memulihkan keadaan.
Harapan bahwa jalan menuju pemulihan begitu panjang dan berat serta tidak menentu itu membuat kita sampai pada keputusan yang menyakitkan untuk mengurangi karyawan lewat cara yang tidak sukarela lagi.
Kita perlu mengurangi sekitar 4.300 posisi di semua perusahaan Singapore Airlines, Silk Air, dan Scoot di Singapura dan di luar negeri. Kita juga membekukan penerimaan karyawan baru mulai 2020 ini. Kita juga tidak mengisi kekosongan yang ditinggalkan mereka yang pensiun atau mengundurkan diri.
Kita juga telah dengan senang hati menawarkan skema pensiun dini yang pertama dalam sejarah kita bagi staf dan pilot. Termasuk pelepasan sukarela bagi awak kabin bagi yang mengundurkan diri dengan alasan pribadi.
Secara keseluruhan semua usaha itu telah mengurangi 1.900 posisi di grup. Hasilnya, lapangan kerja yang sudah berkurang di grup mencapai 2.400.
Kami sudah diskusi dengan serikat pekerja. Kami akan bekerja sama yang erat dengan mereka untuk memfinalkan masalah itu secepat mungkin. Itu untuk mengurangi ketidakmenentuan dan stress di kalangan karyawan.
Melepaskan orang-orang yang sangat berharga dan penuh dedikasi itu adalah keputusan yang paling berat dan paling menyiksa yang pernah saya buat selama 30 tahun di Singapore Airlines.
Kepada kolega kita yang kena dampak diharapkan bisa mengerti bahwa ini bukan karena cerminan kemampuan dan prestasi Anda. Ini karena lumpuhnya bisnis travel akibat pandemi. Percayalah kami akan memproses semua itu dengan fair dan penuh rasa penghargaan. Kami melakukannya sebaik mungkin sesuai dengan penerimaan yang Anda perlukan di waktu penuh cobaan ini.
Beberapa minggu ke depan adalah waktu yang terberat dalam sejarah Singapore Airlines Group. Yakni ketika teman-teman kita meninggalkan perusahaan ini.
Marilah kita tetap menjaga hubungan antar kita, saling kontak di saat kita berada di waktu yang sulit ini.
With regards,
Choon Phong
***
Jelaslah negara besar ternyata memiliki sisi keunggulan tersendiri. Amerika, Tiongkok, India dan Indonesia adalah negara besar dengan pasar domestik yang menggiurkan.
Setelah ini, barangkali Singapore Airlines akan agresif mengakuisisi perusahaan-perusahaan penerbangan domestik di negara-negara besar.
Telkom Singapura tetap jaya karena memiliki anak-anak perusahaan di negara lain, termasuk Telkomsel yang menjadi raja di Indonesia.
Kini teori small is beautiful perlu didiskusikan lagi.(Dahlan Iskan)