Skandal KPRI Budi Arta Mojokerto, Anggota Akui Dibohongi Karyawan
Skandal penggelapan uang Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KP-RI) Budi Arta Kabupaten Mojokerto semakin jelas. Para anggota yang merasa dibohongi oknum karyawan koperasi beberkan kronologis dugaan penggelapan uang miliaran kas KPRI Budi Arta.
Skandal tersebut diantaranya dugaan kredit fiktif, uang simpanan anggota, simpanan wajib hingga penggunaan kas koperasi yang tidak pada tempatnya. Nilainya fantastis, mencapai Rp11,197 miliar.
Munculnya sederet skandal di tubuh KPRI Budi Arta Mojokerto, ini ditengarai sebagai penyebab lenyapnya uang simpanan wajib, simpanan mana suka, dan uang kas koperasi para guru tersebut.
Skandal di koperasi berbuntut laporan polisi. Para pengurus baru KPRI Budi Arta yang saat ini dipimpin Ustadz Rois, itu melaporkan Malikan selaku mantan ketua lama koperasi. Tak hanya itu, pengurus juga melaporkan salah satu karyawannya yaitu, Wahyu Widyawati, putri mantan ketua lama yang menjadi kasir di KPRI Budi Arta Mojokerto. Keduanya dilaporkan ke Polres Mojokerto pada 27 Juli 2022 lalu.
Lenyapnya uang para anggota dan kas KPRI Budi Arta Mojokerto ini mencuat setelah sekitar 280 guru SMA dan SMK berstatus PNS memutuskan keluar dari anggota KPRI Budi Arta pada tahun 2018 lalu. Karena pensiun dan status kepegawaian mereka beralih dari Kabupaten Mojokerto ke Pemprov Jatim.
Para guru yang mundur hingga saat ini belum menerima simpanan wajib yang di potong selama menjadi anggota. Padahal, sesuai peraturan internal KPRI Budi Arta, setiap anggota koperasi berhak menerima simpanan wajib paling lambat 30 hari setelah mengundurkan diri sebagai anggota.
Seperti yang dialami oleh Slamet, tukang kebun berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di SMP Negeri 1 Kemlagi, Mojokerto. Uang simpanan wajib sejak ia bergabung dengan KPRI Budi Arta hingga ia memasuki masa pensiun pada tahun 2019, belum juga bisa dicairkan. Bahkan hingga saat ini tidak ada kejelasan.
Uang simpanan wajib milik Slamet, rencananya untuk menutup sisa pinjamannya di KPRI Budi Arta. Slamet mengaku pernah memiliki pinjaman sebesar Rp 60 juta rupiah. Setelah beberapa kali diangsur, saldo pinjaman miliknya tersisa sekitar Rp 30,8 juta.
Pada tanggal 26 Mei 2022, bulan kemarin. Slamet berinisiatif melunasi pinjamannya di KPRI Budi Arta. Karena merasa punya simpanan wajib, ia pun membayar ke Wahyu Widyawati senilai Rp 24 juta dengan dibuktikan kuitansi bermeterai.
"Saya ada uang Rp 24 juta saya transfer, sisa Rp 6,8 juta. Katanya itu bisa diambilkan dari simpanan wajib asalkan membuat surat pernyataan mengundurkan diri. Hari itu juga saya buat surat pengunduran diri saya kirim ke beliau ( terlapor Wahyu Setyawati)," tegasnya, Jumat 2 Juni 2022.
Namun, uang simpanan wajib milik Slamet senilai Rp 15,2 juta itu hingga saat ini pupus. Di buku catatan RAT 2022 KPRI Budi Arta, dia masih memiliki pinjaman sebesar Rp 6,8 juta.
Slamet juga menduga Wahyu Widyawati menilap uang simpanan wajib miliknya. Itu dibuktikan dengan tanda tangan di kuitansi bukti kas keluar yang menerangkan untuk pembayaran simpanan wajib.
"Saya diminta tanda tangan, dikasih tanda bukti tapi tidak ada uangnya. Harusnya masih ada sisa (simpanan wajib)," tegas Slamet.
Tak hanya itu, bahkan Slamet kesulitan mengambil surat BPKB mobil yang jadi agunan di koperasi berlokasi di Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto itu. Berbagai upaya dilakukan untuk meminta BKPB mobil miliknya ke Wahyu Widyawati, karena saat itu dia (Wahyu-red) menjadi karyawan atau kasir yang mengatur keluar masuk dana koperasi.
"Sampai saat ini BPKB belum ada kembali ke saya, malah saya dikasih sertifikat tanah atas nama orang lain (berlokasi di Sidoarjo). Katanya punya anaknya. Kalau BPKB-nya katanya di notaris. Hampir setiap hari saya ke rumahnya, saya ambil hatinya biar bisa keluar BPKB saya," keluh Slamet.
Hal serupa juga dialami Abdillah, pensiunan guru asal Kecamatan Kutorejo, Mojokerto. Namun, mantan guru SDN 2 Jiyu, Kutorejo ini tak hanya kehilangan uang simpanan wajibnya saja. Ia juga kehilangan uang simpanan mana suka di KPRI Budi Arta senilai Rp 600 juta.
Abdillah menjelaskan, pada tahun 2018, ia memiliki simpanan mana suka sebesar Rp 450 juta. Meskipun ia pensiun menjadi guru pada tahun 2019, Abdillah tetap bergabung menjadi anggota KPRI Budi Arta Mojokerto. Hingga tahun 2020, uang simpanan mana suka miliknya bertambah menjadi Rp 600 juta.
Ia pun mendapatkan uang jasa dari simpanan mana suka sebesar 1 persen setiap bulannya. "Jasa setiap bulan Rp 6 juta, setelah beberapa tahun, saya mengajukan pengambilan simpanan mana suka pada tahun 2021, lewat teman saya pengawas," jelas Abdillah.
Namun upaya pengambilan uang simpanan mana suka miliknya itu gagal. Wahyu Widyawati mengklaim uang simpanan mana suka milik Abdillah sebesar Rp 600 juta sudah diberikan. Bahkan, kata Abdillah, Wahyu menunjukkan bukti kuitansi pembayaran simpanan mana suka yang sudah ditanda tangani olehnya dan Wahyu.
"Simpanan mana suka Rp 600 juta belum pernah menerima uang tapi ada kuitansinya. Saya tidak pernah tanda tangan. Memang saya pernah dua kali tanda tangan waktu mengambil uang jasa selama dua bulan berturut-turut. Tapi yang satu kosong tidak ada nilainya. Saya baru sadar mungkin kuitansi kosong itu," bebernya.
Nasib yang sama juga dialami oleh Suwarsih, pensiunan guru asal Kecamatan Sooko, Mojokerto. Uang simpanan mana suka miliknya sebesar Rp 150 juta hingga saat ini belum dibayar sama sekali.
Uang ratusan juta itu ditabung sejak tahun 2013, di KPRI Budi Arta. Sejak ia pensiun pada tahun 2017, ia meminta uang simpanan mana suka tersebut, namun hanya dijanjikan saja.
"Bulan ini (upaya penagihan terakhir) jawabannya nunggu 3 bulan lagi. Katanya menunggu tanda tangan bendahara, kalau tidak ada tidak bisa keluar. Alasannya selalu begitu sampai suami saya meninggal. Tapi dia mengakui uang ada di koperasi," ujar Suwarsih.
Sama dengan anggota lain yang punya tabungan mana suka. Suwarsih mendapatkan uang jasa 1 persen dari nilai tabungan. Terakhir, Suwarsih menerima uang jasa sebesar Rp 3 juta pada 22 April 2022. "Kan ada jasa itu, saya dikasih. Itu saja saya ini marah-marah karena suami sakit," ucapnya.
Selain simpanan wajib dan simpanan mana suka, pengurus baru KPRI Budi Arta juga melaporkan Malikan dan Wahyu Widyawati terkait dugaan penggelapan dana KPRI Budi Arta bermodus kredit fiktif.
Hal itu dibuktikan dengan pengakuan para korban. Seperti Yuliana, guru TK negeri pembina Kecamatan Bangsal. Dia kaget setelah diberi tahu oleh pengurus baru jika dirinya mempunyai pinjaman sebesar Rp 61 juta di KPRI Budi Arta. Padahal dia mengaku tidak pernah mengajukan pinjaman.
"Saya tidak pernah utang di Budi Arta. Kemudian saya dapat kabar di group WhatsApp jika saya punya pinjaman Rp 61 juta. Saya kaget," tegas Yuliana.
Yuliana mengaku mundur menjadi anggota KPRI Budi Arta sejak tahun 2021 lalu, itulah sebabnya dia tidak mengetahui perkembangan di tubuh KPRI Budi Arta. Bahkan simpanan wajibnya pun hingga saat ini tak kunjung diterima.
"Awalnya saya diminta ngurusin mana suka punya temen saya yang meninggal katanya di uruskan (sama Wahyu Widyawati). Akhirnya sampai muncul saya pinjam Rp 61 juta, teman saya yang meninggal muncul Rp 70 juta. Kalau simpanan wajib sekitar Rp 14,7 juta," katanya.
Modus kredit fiktif itu juga dialami oleh Khurotin, kepala sekolah SDN 1 Jolotundo Kecamatan Jetis. Dia mengakui mempunyai pinjaman sebesar Rp 25 Juta dengan jaminan BPKB sepeda motor.
Pinjaman Khurotin pun berkurang setelah diangsur hingga bulan Juni 2022 kemarin. Sisa pinjaman Khurotin pun hanya Rp 17,5 juta saja. Namun, ia dikagetkan dengan catatan buku RAT tahun 2022, tertera pinjaman Khurotin Rp 122,5 juta.
"Dari pinjaman Rp 25 juta, sisa Rp 17,5 juta, sekarang kok Rp 122,5 juta. Saya ngak pernah ada informasi dari pengurus," ujarnya.
"Saya tidak tahu yang jelas saya tidak pernah tanda tangan. Malah informasi terakhir saya tanya ke beliau (Wahyu Widyawati) katanya sisa pinjaman saya Rp 17,5 juta. Itu pun kalau melunasi harus bayar ke dia," tambahnya.
KPRI Budi Arta yang berlokasi di Jalan RA Basuni, Sooko, Kabupaten Mojokerto ini beranggotakan 976 guru TK, SD, SMP, pensiunan guru, serta guru SMA dan SMK. Semuanya berstatus pegawai negeri sipil (PNS)
Pengurus baru KPRI Budi Arta menempuh jalur hukum. Mereka melaporkan Malikan dan Wahyu Widyawati ke Polres Mojokerto terkait dugaan penggelapan dana koperasi yang mencapai Rp 11,197 miliar pada 27 Juli 2022. Sampai saat ini, kasus tersebut masih tahap penyelidikan pihak kepolisian.
Wahyu Widyawati merupakan putri mantan ketua KPRI Budi Arta Malikan. Wahyu membantah tudingan penggelapan uang belasan miliar milik KPRI Budi Arta. Bahkan perempuan asal Desa Puloniti, Kecamatan Bangsal ini bakal melaporkan balik para pengurus baru atas dugaan pencemaran nama baik jika tidak terbukti dalam proses hukum.
Advertisement