Skandal Jiwasraya dan Asabri: Negara Abai Lindungi Rakyat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Undang-undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian pada 17 Oktober 2014, tiga hari sebelum masa jabatan keduanya berakhir. Dengan penandatanganan itu maka sah dan berlakulah Undang-undang No. 40/2014.
Undang-undang yang sangat penting ini mengamanatkan pembentukan program penjaminan polis sebagaimana tercantum dalam Bab XI, Pasal 53, Ayat (1) yang berbunyi: “Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.”
Ada pun penyelenggaran program penjaminan polis harus berdasarkan undang-undang, sebagaiman tercantum dalam Ayat (2): “Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.”
Seharusnya undang-undang penjaminan polis sudah hadir, karena Undang-undang No. 40/2014 Pasal 4 menyatakan: “Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Nasabah bank sudah terlindungi jika bank tempat mereka menempatkan dananya ditutup atau bangkrut, karena sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Para investor di pasar modal memperoleh kepastian jika melakukan transaksi saham. Jika membeli saham, mereka dapat jaminan memperoleh kepemilikan atas saham itu. Sebaliknya, jika investor menjual sahamnya, mereka memperoleh jaminan akan menerima uang hasil penjualan itu. Skema penjaminan ini dimungkinkan dengan kehadiran PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) yang berdiri pada 5 Agustus 1996 dan diresmikan sebagai badan hukum sejak 24 September 1996 melalui pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
Seandainya pemerintah tidak abai, para nasabah Jiwasraya pun sudah barang tentu masih menyisakan asa tinggi bahwa preminya akan dibayar dan investasinya akan kembali. Kini, mereka gundah gulana, tak ada kepastian bakal mendapatkan haknya.
OJK Tak Boleh Lepas Tangan
Kasus Jiwasraya dan Asabri sudah lama muncul. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) adalah lembaga yang diatur undang-undang untuk memberikan izin operasi perusahaan asuransi. Mereka pula yang mengeluarkan izin berbagai produk asuransi. OJK juga yang diberikan tugas mengawasi perusahaan asuransi. OJK membuat aturan. Jika terjadi pelanggaran, OJK-lah yang menyidik, menuntut, dan mengenakan sanksi.
Setiap perusahaan asuransi wajib menyerahkan laporan berkala setidaknya empat kali setahun. Beberapa perusahaan asuransi mengatakan hampir setiap bulan mereka menyerahkan laporan.
Sudah sepatutnya OJK bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Jiwasraya dan Asabri. Bukan kali ini saja kejadian tragis menimpa perusahaan asuransi.
Persoalan likuiditas Asabri masih tertolong karena masih terus memperoleh dana iuran dari peserta. Kasus Jiwasraya semakin membesar karena praktis premi jatuh tempo terus bertambah sedangkan dana dari premi baru praktis terhenti karena masyarakat jera berinvestasi di produk-produk investasi Jiwasraya. Semakin lama ditangani, semakin membesar persoalan yang membelit Jiwasraya.
Wajar jika banyak kalangan mulai mempertanyakan keberadaan OJK. Bukan saja kewenangannya terhadap perusahaan asuransi, melainkan juga terhadap perbankan, lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, dan fintek. Siapa yang mengawasi OJK? Kepada siapa OJK melapor? Penguatan institusi sangat mendesak, bahkan bisa dikatakan darurat. Ini persoalan genting karena menyangkut organ perekonomian yang vital, karena lembaga keuangan merupakan jantung perekonomian. Jika terjadi serangan jantung, seluruh organ tubuh perekonomian bakal terdampak.
Kementerian Keuangan pun harus menjelaskan mengapa sampai sekarang belum kunjung merealisasikan amanat Undang-undang No. 40/2014 yang seharusnya sudah hadir pada Oktober 2017. Bukankah Kementerian Keuangan sudah diingatkan oleh berbagai pihak tentang amanat undang-undang itu?
Tidak perlu menunggu kehadiran Omnibus Law untuk menyelesaikan masalah yang mendera Jiwasraya dan Asabri.
*) Artikel ini dikutip dari blog pribadi Faisal Basri atas izinnya.