SK BPH Migas Membuat Pelayaran Rakyat Makin Terpuruk
Keputusan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas membatasi jumlah kapal rakyat yang mendapat alokasi solar subsidi pada triwulan pertama tahun 2021, dianggap tidak relevan. Aturan tersebut justru sangat merugikan usaha kapal rakyat khususnya yang tergabung dalam asosiasi Pelayaran Rakyat (PELRA).
Surat Keputusan yang dikeluarkan BPH Migas No 59/P3JBT/BPH Migas/KOM/2020 membuat usaha kapal rakyat makin terpuruk, di tengah kesulitan yang belum juga terpecahkan akibat pandemi Covid-19 yaitu kapal kesulitan mencari barang angkutan, sementara biaya opersional melambung tinggi. Kini justru ditambah dengan aturan yang lebih memberatkan.
Dalam rilis yang dikirimkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maritim Indonesia kepada Ngopibareng.Id disebutkan, pada triwulan IV tahun 2020 sebanyak 856 unit kapal rakyat masih mendapat fasilitas solar subsidi.
Pada triwulan I tahun 2021 BPH Migas menetapkan hanya 482 kapal dipastikan memperoleh solar bersubsisi dengan kuota 3.301kilo liter (KL). Padahal dari hasil verifikasi BPH Migas tanggal18 November 2020 direkomendasikan 626 kapal yang laik menerima solar subsidi, sementara surat dari Dirjen Pehubungan Laut No AL.201/22/10/DA-2020 tanggal 12 November 2020 diusulkan 774 kapal Pelra dan 246 kapal perintis mendapat solar bersubsidi.
“Dampak dari keputusan BPH Migas tersebut langsung terjadi, yaitu ratusan kapal yang tidak tercantum dalam lampiran keputusan BPH Migas, terancam tidak dapat beroperasi karena mahalnya harga solar industri. Hal itu tidak sesuai dengan hasil perolehan dari angkutan barang yang dikapalkan, dan akhirnya berdampak pula pada nasib ratusan Anak Buah Kapal dan pekerja bongkar muat di pelabuhan rakyat, tulis rilis yang ditandatangani Direktur LBH Maritim H. Samiadji Makin Rahmat dan sekretarisnya, Oki Lukito.
Sebagai alternatif, kini sebagian kapal lainnya terpaksa membeli solar di pasaran gelap antara lain melalui kapal bungker, solar kencing, solar oplosan, tongkang, solar swasta, dengan harga Rp 5.900 sampai Rp 6.400 per liter, dengan kualitas solar yang buruk. Sementara harga solar bersubsidi di SPBB Rp 5.150 per liter. Solar dari black market ini selain mempercepat proses kerusakan pada mesin kapal juga rentan mati di tengah perjalanan sehingga membahayakan keselamatan pelayaran.
LBH Mariitim mengkhatirkan aturan baru BPH Migas yang tidak jelas dasarnya itu akan menyuburkan praktek jual beli BBM di pasar gelap yang harganya bervariasi, kisaran Rp 6.100-6.300 per liter. Keputusan BPH Migas tersebut juga mengancam keberlangsungan usaha Koperasi Kapal Rakyat (Kopelra) di sejumlah daerah yang mengandalkan jasa menyalurkan solar subsidi.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka LBH Maritim menyatakan: pertama, BPH Migas selaku instansi yang mengatur minyak bersubsidi untuk kapal rakyat segera membatalkan dan merevisi keputusan tersebut.
Kedua, BPH Migas diminta mengalokasikan solar bersubsidi kepada 856 kapal Pelra seperti pada triwulan IV tahun 2020. Ketiga, BPH Migas tidak menyamakan kapal Pelra dengan kapal pelayaran nasional (Pelnas) atau liner.
Kapal Pelra adalah kapal tramper yaitu kapal dengan tujuan, rute dan jadwal yang tidak tetap. Seharusnya diberi izin mengisi solar subsidi di pelabuhan manapun sesuai dengan kebutuhan. Aturan selama ini jatah solar subsidi hanya diberikan di pelabuhan asal, selanjutnya membeli dengan harga solar industri. Demikian menurut LBH Maritim Indonesia dalam rilis yang dikeluarkan 26 Februari 2021. (nis)
Advertisement