Sitok "Gugat" julukan Presiden Penyair bagi Sutardji
Semarang : Julukan Presiden Penyair Indonesia yang diberikan kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri "digugat" sastrawan Sitok Srengenge dalam ajang Sastra Pelataran Semarang yang berlangsung di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah, Semarang, Jumat malam (5/5).
"Kalau presiden, kapan berhentinya? Kapan jabatannya berakhir? Siapa wakil presidennya? Presiden itu istilah untuk jabatan politik. Ada batas waktunya. Sementara, penyair itu ranah sastra yang tidak akan pernah habis," kata Sitok.
"Gugatan" itu disampaikan sastrawan Sitok Srengenge, bukan karena julukan itu tidak pantas bagi Sutardji, melainkan karena semestinya penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Provinsi Riau, pada 24 Juni 1941 itu mendapatkan julukan yang lebih tinggi dari sekadar presiden.
Sitok pun berargumen bahwa semestinya Sutardji yang selama ini nama besarnya telah mewarnai perjalanan sastra di Indonesia mendapatkan julukan yang lebih dari presiden.
Komentar Sitok itu langsung disambut tepuk tangan dari para hadirin dalam ajang sastra tersebut.
Sederetan penyair hadir pula pada ajang sastra yang secara khusus menampilkan Sutardji, kemudian pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibien, Rembang, Jawa Tengah, KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Menanggapi itu, Sutardji, yang tahun ini akan genap berusia 76 tahun, menceritakan asal mula julukan yang sengaja disebutkannya sendiri pada suatu perhelatan sastra sekitar tahun 1970-an sebagai metafora dalam pesona kesusasteraan.
"Kalau Amir Hamzah kan dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru, Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, saya sebut ketika itu, sayalah Presiden Puisi Indonesia. Presiden puisi, bukan penyair," katanya, disambut tawa hadirin.
Apalagi, Sutardji kala itu pernah tampil mengenakan busana ala Presiden Republik Indonesia periode 1945-1966 sekaligus Proklamator Kemerdekaan RI, Ir Soekarno (Bung Karno). Namun, Sutardji mengubah penampilan Soekarno Look, yang berciri khas membawa tongkat komando, dengan menenteng botol bir.
Tak disangka, julukan "presiden" yang disebut sendiri oleh Sutardji itu kemudian melekat dengan sosoknya yang banyak disebutkan oleh media massa, dan terus bertahan sampai sekarang. Meski, ia mengakui dirinya sendiri tidak menganggap penting julukan itu.
Bahkan, Sutardji secara blak-blakan mengakui sempat khawatir ketika banyak surat kabar ketika itu menyebutnya dengan julukan "presiden", karena pada masa itu istilah "presiden" sebagai sesuatu yang tidak boleh disandang siapa pun, kecuali Presiden Soeharto.
"Saking masa itu kan banyak orang takut. Apalagi, disebut presiden, meski presiden puisi. Bagi saya julukan itu hanya pemanis, tidak usah diseriuskan. Saya sendiri tak pernah mengucapkan itu lagi setelah manggung waktu itu," katanya.
Sutardji dalam ajang sastra di Semarang sempat membacakan sekira 10 puisinya, salah satunya berjudul "Laila Seribu Purnama", yang diakuinya terinspirasi dari momentum malam Lailatul Qodar, dan sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan.(ant/wah)
Advertisement