Sistem Single Chainring, Kembali Tren di Balap Profesional?
Ada yang unik di Giro d’Italia yang berakhir Minggu, 28 Mei 2023 lalu. Sang juara, Primoz Roglic (Jumbo Visma) menggunakan set up single chainring di etape pegungungan.
Ya, di etape 19, dia sempat mengganti sepedanya di kaki tanjakan Tre Cime di Lavaredo. Awalnya, dia menggunakan Cervelo R5 dengan grupset SRAM Red eTap AXS double charinring.
Tetapi dia menggantinya dengan frame yang sama tetapi single chainring di depan. Padahal biasanya single chainring ini digunakan di etape flat time trial atau gravel.
Sedangkan ini etape pegunungan dan Roglic menggunakan set up ini.
Secara teori, Roglic ingin mengambil keuntungan bobot dan aerodinamika. Selain itu 1x (one by atau single chainring) juga lebih efisien serta tidak ribet ada setelan di front derailleur.
Juga dengan tidak adanya chainring depan memiminalisir crosschain sehingga lebih halus perpindahannya untuk di sproket.
Apalagi di etape ini panjang tanjakannya 7,2 km dengan gradien rata-rata 7,6 persen.
Roglic sengaja memilih SRAM Red AXS XPLR karena pertimbangan pilihan gir-nya.
Wout van Aert, memiliki SRAM Red AXS untuk bertanding di Milan-San Remo dengan sistem 1x (single chainring). Dengan ukuran 52t untuk chainring dan 10-28 untuk sproket.
Sedangkan Roglic menggunakan sproket 10-44. Dan tidak ada informasi chainring berapa yang digunakan Roglic di etape 19 itu.
Hasilnya? Roglic finis di peringkat keempat di etape 19. Tertinggal 3 detik dari Geraint Thomas (Ineos Grenadiers).
Rupanya, sistem single chainring ini menjadi tren 2023. Setelah sebelumnya ada tim Aqua Blue yang menggunakannya di tahun 2018 tetapi akhirnya mereka harus hengkang dari WorldTour team.
Nah, saat ini tim kuat, Jumbo Visma menggunakannya untuk Milan San Remo dan Giro d’Italia. Ada juga Victor Campenaerts (Lotto-Dstny) menggunakan Ridley Noah dengan sistem 1x saat balapan di Spring Classics.
Apakah ini pertanda sistem 1x akan kembali tren di dunia balap profesional?
Advertisement