Siskamling Semesta
Covid 19 ternyata juga membawa hal positif. Ini contohnya. Beberapa teman, jadi aktif ikut siskamling. Berkeliling kampung dari malam hingga selepas sahur.
Menjaga keamanan, makin akrab antar tetangga, juga bisa jadi ajang berbagi beban. "Jadwal baru, sampai jam lima pagi," ungkap teman yang tinggal di Bantul, Jogjakarta.
Padahal, jadwal sebelumnya hanya sampai tengah malam. Kini, karena jadwal makin panjang, sahur juga disediakan. Alasan utama, tentu demi keamanan dan keselamatan bersama.
Ternyata, ekonomi yang buka tutup ini, membuat sebagian kita kreatif. Maklum, saat kebutuhan mendesak apa pun akan dilakukan. Kadang ada yang mengambil ayam atau motor di kampung lain.
Pernah ada kejadian, bulir padi yang seharian di jemur, lantas ditaruh di depan rumah, rahib. Berpindah tempat. Sekalian dengan alasan tempat jemurnya.
Bahkan, ini lebih ngeri lagi. Ada sapi di tetangga kampungnya yang pindah kandang. Mereka makin pintar. Sapi tidak diambil di kandang, tapi pintu kandang hanya dibuka. Tali sapi di lepas.
Secara naluri, sapi memilih keluar kandang. Berjalan sendirian. Kawanan pencuri itu, hanya menunggu saja.
Saat sampai ujung kampung, sapi pun dipindahkan ke mobil bak terbuka. Sederhana dan efektif. Sukses pindah tanpa bikin prahara. Yang punya akhirnya hanya menyisahkan nelangsa.
Beragam kabar kehilanggan, membuat warga semakin sensitif. Saat malam ada suara motor mendekat, mereka pasang sikap. Curiga saja bawaannya.
"Ternyata yang datang cucu Mbah Darmo, tetangga. Padahal semua sudah siap dengan pentungan," paparnya seorang kawan lainnya sambil tertawa.
Informasi itu, saya dapat saat kami berbagi cakap melalui video conference. Fasilitas dari salah satu media sosial. Pendemi ini, membuat kami jadi lebih sering berkomunikasi virtual.
Di seputaran rumah saya, kami memilih memasang portal. Jam 09.00 malam, semua sudah dikunci. Memilih menutup akses agar tidak ada tamu tak diundang yang mampir.
Ini jamak, saat perut kosong, yang terjadi gelap mata. Sesak pikir. Kadang nekad. Padahal di masa pendemi, semua orang memilih tinggal di rumah.
Tak heran, ada sebagian mereka memburu toko serba ada. Karena yakin setidaknya ada barang yang bisa diambil. Dari pada lapar sama sekali.
Sebenarnya, kondisi ini mengkhawatirkan. Pemerintah mengaku akan menguyurkan beragam bantuan. Dari bantuan sembako, uang tunai, atau kartu pra kerja yang bikin ramai itu.
Walau urusan bantuan, kuncinya ada di data. Kalau input data salah, sudah pasti bantuan tidak tepat sasaran. Contohnya, apa yang dialami mertua teman saya.
Dia tinggal di Jakarta. Bapak mertuanya adalah bankir ternama. Pasti kaya raya. Mobilnya saja anti peluru. Lha, kok malah dapat sumbangan dari Gubernur Anies Baswedan.
Entahlah, apakah itu salah input, atau Mas Gubernur ingin menyentil para orang kaya. Agar mereka turut berbagi. Menolong sesamanya yang mungkin kini butuh banyak bantuan. Entahlah.
Untuk urusan pengamanan dan ketahanan pangan, mungkin kita bisa menenggok sejarah. Orde Baru lihai untuk urusan ini. Ada program tenar di masa lalu, namanya Program Dasa wisma.
Sepuluh rumah tangga, biasanya dalam satu Rukun Tetangga, jadi satu kesatuan. Mereka harus saling tolong menolong. Bahu membahu membantu tetangga terdekat.
Dulu, almarhum ibu saya jadi salah satu ketua dasa wisma. Karena dia istri guru, dan pendukung program Orde Baru. Termasuk urusan kampanye keluarga berencana itu.
Seingat saya, yang dilakukan banyak. Dari sosialisasi kesehatan, hingga ketahanan pangan keluarga. Membuat program penanaman sayur mayur di rumah, sehingga tak perlu membeli.
Ada juga kegiatan penguatan ekonomi. Bersama anggotanya, mereka merumuskan usaha yang bisa dibuka. Waktu itu, ada yang bikin usaha kerupuk, atau buka warung di rumah, hingga jualan di pasar.
Saat itu, juga ada bantuan modal dari pemerintah. Tapi bergulir. Ibu saya yang koordinatornya. Jadi modalnya berputar, dari satu anggota ke anggota lainnya.
Tidak ada cerita modal macet. Karena anggota lainnya, saling mengingatkan. Agar modal dikembalikan untuk digunakan anggota lainnya.
Program ini bagi saya sukses. Setelah semuanya memakai, ibu saya akhirnya berdagang di pasar. Dari menyewa kios sampai mampu beli kios di pasar.
Sebagian keuntungannya, bisa membantu suaminya yang guru SD. Harap maklum, gaji guru waktu itu tak sebanyak sekarang. Tak ada program sertifikasi.
Jadi melewati tengah bulan, dulu, orang tua saya tensi darahnya selalu naik. Maklum, gajinya sudah habis untuk mencicil utang. Program modal bergulir itu, sukses menyelamatkan banyak keluarga. Kuncinya ya, konsisten dan saling mengingatkan.
Pemerintah, juga pintar. Dibuat kompetisi. Tiap kelompok dasa wisma yang sukses diadu. Saya ingat, pernah ada juri lomba tingkat kabupaten yang datang. Oleh Ibu saya, mereka diajak keliling ke seluruh anggota kelompoknya.
Momen pagebluk ini, kalau kita rela, program ini bisa dipakai untuk membangkitkan semangat ini. Ruh kita adalah gotong royong. Memastikan orang terdekat, juga tertolong.
Dasa wisma adalah organ terkecil yang bisa sangat efektif. Gampang memantau siapa yang sakit. Juga berbagi, siapa yang membutuhkan bantuan.
Namun, bisa jadi ada yang masih alergi dengan program jaman Orde Baru. Kalau mau yang sederhana ya, ganti saja namanya. Tapi cara kerjanya tetap saja.
Urusan keamanan juga berujung urusan keamanan finansial. Beberapa kawan diskusi juga banyak yang pening. Bisnisnya berhenti.
Dari bisnis restoran hingga makan kecil. Semua kena dampaknya. Tak terkecuali teman yang punya bisnis persewaan alat pendukung konser musik.
Sebelumnya dia bekerja di bank. Mau promosi jadi kepala cabang. Tapi akhirnya memilih berhenti dan keluar. Membesarkan bisnis yang sudah ada.
Dari home stay hingga persewaan LED lampu untuk acara musik. Saat itu, grafiknya naik. Tambah karyawan, karena bisnis membesar.
Lantas menambah modal. Beli alat baru. Tak ada salahnya, karena permintaan dan sewanya ada. Setelah dihitung untungnya, dia maju ambil kredit di bank.
Namun, Corona membuat seluruh mimpinya berantakan. Tak ada acara pentas musik lagi. Berhenti. Padahal, cicilan pinjaman di bank tak mau berhenti.
"Diatas Rp 70 juta perbulan cicilannya," jelasnya. Akhirnya, pinjaman itu dimintakan penjadwalan ulang. Bank pun mengabaikannya.
Kesuksesan mereschedule pinjaman itu, memunculkan ide baru. Dia bersama seorang teman pembicara properti, akan bikin kelas online: Cara Gampang Penjadwalan Pinjaman Bank. Mereka yakin, pasti banyak yang butuh.
Kelas online, kini jadi pilihan ladang uang. Asal punya ilmu dan keahlian, dia bisa didagangkan. Ada yang jualan ilmu kartu kredit atau juga membuat makanan. Laris manis.
Bahkan ilmu agama bisa juga dijual secara online. Seorang teman di Jakarta, pemilik jasa konsultasi komunikasi berbagi cerita. "Seorang teman membantu ustad untuk bikin pengajian online," tuturnya.
Awalnya sempat sepi. Tapi setelah beberapa kali promosi, para pendaftar akhirnya berdatangan. "Ramai juga pendaftarnya. Ngaji berbayar," paparnya.
Sebelumnya, ustad ini jadwal pengajian offlinenya sudah penuh. Tapi, gara-gara Corona semua batal. "Dia sempat mengeluh. Tapi kini sudah bisa tertawa bahagia," lanjutnya.
Bagaimana tidak bahagia. Setiap bulan, ada sekitar 1000 peserta. Tiap peserta bayar Rp200 ribu. Dari kelas online saja, pendapatannya bisa tembus Rp200 juta.
Beragam contoh ini, memberikan penjelasan sederhana. Setiap keadaan, pasti menemukan jalan baru. Kebiasaan baru. Contohnya aliran air. Saat menemukan penghalang, pasti akan ada jalan.
Orang bijak berpesan, jangan pernah menyerah atas keadaan. Rasa takut, khawatir terus melingkupi kalau kita menghidupi. Jadi pilihlah sebaliknya, nyalakan harapan. Lantas, semailah dengan keyakinan.