Imam Orang Miskin, Sisi Indah Hidup Sayidina Ali bin Abi Thalib
“Hai Ali,” kata Nabi Muhammad SAW kepada salah seorang sahabatnya yang sangat dikasihinya, “orang miskin bangga mempunyai Imam seperti kamu, dan kamu pun bangga menjadi Imam mereka.”
Kelak Ali menjadi khalifah Islam yang keempat, menggantikan Khalifah Utsman bin Affan. Ia membuat kebijakan-kebijakan yang membela orang miskin dan memotong tangan-tangan para kapitalis yang menindas.
Waktu itu, kapitalis disebut sebagai saudagar. Ingin tahu bagaimana khalifah yang adil itu dalam kehidupan sehari-harinya?
Simak laporan seorang anak muda yang hidup pada zamannya dan menjadi ulama besar pada zaman berikutnya. Namanya Syu’bi.
“Pada suatu hari aku melewati Baitul Mal (Kantor Pusat Bulog).
Imam Ali tengah mengawasi distribusi kekayaan negara.
Aku melihat para budak hitam dalam satu barisan bersama para saudagar.
Mereka mendapatkan bagian yang sama.
Dalam waktu sekejap, tumpukan mata uang emas dan perak habis terbagi.
Khazanah negara pun kosong.
Imam Ali berdoa dan meninggalkan kantor itu dengan tangan hampa. Ia telah memberikan bagiannya kepada seorang perempuan tua yang mengadu karena bagiannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya."
Jangan pikir bahwa karena Syu’bi mengatakan bahwa para saudagar dan budak mendapatkan bagian yang sama, Anda kira Imam tidak adil.
Para saudagar itu mendapat jatah yang sama setelah sebagian harta mereka diambil oleh negara. Karena itu, para saudagar membentuk persekongkolan rahasia untuk menjatuhkan Ali. Bersama para pemimpin kabilah, mereka menjauh dari Ali.
Utsman bin Hanif, salah seorang sahabat dekatnya, memberikan nasehat kepada Khalifah:
“Anda telah berhasil melaksanakan tugas-tugas Anda, mulai dari mekanisme distribusi keuangan publik secara adil, menyama-ratakan bagian bagi para pejabat pemerintah dan rakyat jelata, mengangkat status orang hitam dan Persia sehingga setingkat dengan orang Arab, memberikan bagian sama besar antara budak dengan tuannya, menghapuskan hak-hak istimewa bagi para pejabat pemerintah, dan terakhir menghapus pemberian fasilitas dan tunjangan khusus bagi pejabat.
Semuanya itu telah mendatangkan kerugian bagi Anda. Lihatlah, inilah yang menjadi sebab menjauhnya para tokoh dan sudagar Arab dari Anda. Mereka memilih untuk mendekati Muawiyah. Apa gunanya orang-orang miskin, orang-orang cacat, janda-janda tua, dan budak-budak hitam itu bagi Anda?
Apakah mereka mampu membela dan melayani Anda?”
Mungkin di zaman sekarang ini, Utsman bin Hanif boleh kita sebut sebagai penasihat khusus Presiden.
Dengarkan jawab Sang Khalifah:
“Tidak akan aku biarkan para tokoh yang berpengaruh dan saudagar kaya raya mengeksploitasi umat Islam. Aku sangat membenci sistem distribusi uang negara yang tidak adil. Aku tidak akan pernah membiarkan hal seperti ini. Kekayaan ini milik rakyat, berasal dari rakyat, dan diperuntukkan bagi rakyat. Bukan para saudagar dan tokoh yang membuat kekayaan ini. Mereka hanya menjarahnya dari rakyat, mengkorupsi uang pajak dan lain-lainnya.
Jumlah pajak yang mereka korupsi jauh lebih banyak daripada yang mereka kembalikan kepada negara.
Mereka menyelewengkan dana pajak itu untuk kepentingan pribadi mereka.
Perilaku mereka yang korup dan suka menyelewengkan keuangan negara itulah yang menjadi keprihatinanku selama ini.
Aku malah gembira jika mereka menjauhiku.
Aku tidak mengharapkan pengabdian orang-orang cacat dan orang-orang miskin.
Aku mengerti sepenuhnya mereka tidak mampu mengabdi kepadaku.
Ketahuilah, aku hanya ingin menolong mereka, karena mereka tidak mampu menolong diri mereka sendiri.
Mereka juga manusia sama seperti kamu dan aku.
Semoga Allah memberikan kekuatan bagiku untuk menjalankan semua tugas ini.”
(Dikutip dengan beberapa perubahan redaksional dari Gold Profile of Imam Ali).
Tuhan memang menganugerahkan kekuatan dan ketabahan pada Imam Ali. Ia bangga memihak rakyat miskin. Ia tidak peduli pada “politicking” yang dilakukan orang-orang kaya.
Keadilan harus ditegakkan walaupun langit harus runtuh. Keadilan harus menjadi sistem pemerintahannya, walaupun ia akhirnya terbunuh. Sebagaimana Rasulullah, kaum muslim menyebutnya Imamul Masâkin.
George Jordac, penulis dari kaum Kristiani, menyebutnya Shawtul ‘Adâlatil Insâniyyah, suara keadilan insani.
Ada orang yang mengkritik Ali sebagai politisi yang gagal. Musuh-musuhnya bertambah. Kawan-kawannya mengkhianatinya. Ia gagal mempertahankan kekuasaannya. Misi Ali bukan untuk merebut dan menegakkan kekuasaan. idak ada satu ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk merebut kekuasaan.
Al-Quran berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, sebagai saksi-saksi untuk Tuhan, walaupun bertentangan dengan kepentingan dirimu, atau orang tuamu, atau karib kerabatmu. Dan jika ia pun kaya ataupun miskin; karena Allah lebih baik dalam melindungi mereka. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga tidak berbuat adil.” (QS 4:135).
Khalifah Ali kita tampilkan untuk mengingatkan para pemimpin dan pejabat di negeri ini yang berlomba untuk menerbitkan kebijakan yang memotong urat nadi nafkah orang banyak; buat para saudagar yang bekerja sama dengan para pejabat untuk mengeruk keuntungan dari keringat dan darah rakyat kecil; buat para pembuat hukum yang membuat peraturan yang melarang orang berderma atau berdagang di pinggir jalan; juga buat para hakim yang mengusulkan fasilitas dan tunjangan tambahan puluhan bahkan ratusan juta.
Duhai, jika sekiranya Ali atau orang seperti Ali menjadi pemimpin negeri ini!
Demikian kisah dituturkan kembali Jalaluddin Rakhmat.
Advertisement