Sisa-sisa Komunisme di Mutiara Danube
Oleh Ichwan Arifin
Setelah menempuh sekitar 2,5 jam perjalanan dari Wina- Austria, kereta api antar negara itu akhirnya sampai di Stasiun Keleti pályaudva, Budapest, Hongaria. ini adalah ujung semua perjalanan kereta karena rel berhenti disitu juga. Rasa bosan tidak muncul selama perjalanan. Jalur kereta melintasi kawasan pedesaan dengan pemandangan khas Eropa yang indah. Tidak seperti di Indonesia, kadang rel kereta berhimpitan dengan rumah dan bangunan. Kondisi itu tidak ditemukan di jalur ini.
Hujan rintik menyambut saat kereta tiba di Budapest- Keleti, di Kota Budapest, Hongaria. Stasiun itu masih mempertahankan bangunan tua. Budapest, seperti kota-kota di Eropa kaya dengan bangunan klasik bergaya art nouveau, gotik dan baroque. Gaya itu ditemukan pada bangunan umum maupun kastil yang dibangun pada abad pertengahan.
Hawa dingin menyergap saat keluar dari kereta. Tebalnya jaket masih dapat ditembus hawa dingin. Tak banyak penumpang yang sore itu. Dibanding dengan stasiun atau fasilitas publik di wilayah Eropa Barat, Budapest-Keleti terkesan agak kotor. Hal yang bagus tak terlihat calo tiket, sopir taksi gelap mapun operator moda transportasi illegal lain yang menawarkan jasa pada para penumpang yang baru turun dari kereta.
Hongaria merupakan salah satu negara terkurung daratan di Eropa. Tidak ada lautan atau samudera yang berbatasan dengan negara ini. Secara geografis, berbatasan dengan Austria, Slovakia, Rumania, Serbia, Kroasia, Ukraina, dan Slovenia. Ibu kota dan pusat pemerintahan berada di Budapest. Kota tua yang kaya sejarah dan penuh pemandangan cantik. Berasal dari dua wilayah yang dipisahkan Sungai Danube, yaitu Buda dan Obuda di bagian barat dan Pest di timur. Kemudian kedua wilayah tersebut menyatu menjadi Budapest. Sangat tepat dijuluki “the Pearl of Danube” atau Mutiara dari Danube.
Dikutip dari berbagai literatur, Hongaria punya sejarah yang panjang, Pernah menjadi bagian dari kekuasaan Ottoman, menjadi Kekaisaran Austro-Hongaria dan dibawah rezim komunis sebelum akhirnya saat ini bergabung menjadi bagian dari Uni Eropa.
Peristiwa politik yang bergelimang darah dan jatuh bangunnya beragam rezim sempat mewarnai sejarah Hongaria. Seperti holocaust (pembunuhan orang-orang yahudi) pada saat penerapan undang-undang anti Semit, revolusi 1956 yang bergelimang darah dan sebagainya. Kekuasaan represif dan otoriter berlangsung juga pada era rezim komunis. Selama kekuasan rezim komunis dan pada era perang dingin, Hongaria menjadi bagian dari Blok Timur, anggota Pakta Warsawa dan berkiblat ke Uni Soviet. Sejalan dengan runtuhnya komunisme dan bubarnya Uni Soviet, Hongaria kemudian menyatu dengan negara-negara Barat lainnya dalam rengkuhan kapitalisme.
Kita juga juga punya jejak sejarah panjang. Dalam fase atau peristiwa tertentu juga berselimut darah. Namun bedanya, di Hongaria, peristiwa politik berdarah itu tidak dituturkan dari generasi ke generasi dalam narasi dendam. Apalagi sampai pada pembelahan masyarakat melalui institusionalisasi orde, labelisasi tahanan politik dan kebijakan diskriminatif.
Di Hongaria, situasinya relatif sama dengan negara-negara eks komunis di Eropa yang beralih ideologi ke kapitalisme seperti Ceko atau Slovakia. Tidak ada ketakutan terhadap komunisme. Tidak ada pula yang mengkonstruksi komunisme dalam narasi sebagai bahaya laten. Apalagi sampai punya ritual tahunan tentang kebangkitan komunisme.
Jika di Praha, Republik Ceko warisan komunisme itu tersisa dalam bentuk musem komunisme. Sisa-sisa komunisme di Hongaria, khususnya di Budapest adalah memento park. Isinya patung-patung monumental dan pahatan semasa era rezim komunis. Lenin, Karl Marx/Engels dan patung dalam ragam kategori. Misalnya, Monumen Parade Pembebasan, terdiri dari patung Liberation Army Solider, Hongarian-Soviet Friendship Memorial, dan sebagainya. Setelah rezim komunis jatuh, taman itu kemudian difungsikan sebagai “outdoor museum”.
Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menjadi partai yang legal. Bahkan berhasil memperoleh suara terbesar ke-4 dalam pemilu 1955. Namun Indonesia tidak pernah dikuasai rezim komunis. Jadi agak mengherankan, narasi hantu komunisme itu justru tumbuh subur di negeri ini daripada di negara-negara yang dulunya pernah dikuasai rezim komunis.
Narasi hantu komunisme itu pun muncul lagi di bulan September tahun ini. Bagi yang “melek” politik, akan melihatnya sebagai bagian dari agenda sesaat untuk menaikkan popularitas, mencari dukungan dari kelompok-kelompok Islam formalis dan ujung-ujungnya juga kekuasaan. Kapitalisasi isu komunisme untuk kepentingan politik pragmatis.
Dalam barisan itu termasuk pernyataan Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo pada saat diskusi virtual yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Gatot menyimpulkan TNI telah disusupi paham komunisme hanya dari indikator tidak adanya patung Soeharto, Sarwo Edhie dan Nasution di Museum Dharma Bhakti Kostrad. Terkesan, statemen itu menyasar Pangkostrad Letjen Dudung Abdurrachman yang belakangan ini karirnya makin moncer dan dikenal berani bersikap tegas tehadap kelompok-kelompok yang suka menjajakan agama dalam gerakan politiknya.
Jadi kesimpulannya, tetaplah berpikir jernih, memakai logika dan akal sehat!
*) Ichwan Arifin, Wakil Ketua DPD PA GMNI Jawa Timur dan Ketua Dewan Pertimbangan DPC PA GMNI Bojonegoro.