Belajar Seadanya, di Tengah Guncangan Gempa Susulan Melanda
Gempa susulan masih sering dirasakan masyarakat Palu dan Donggala. Meskipun kekuatannya lemah, tidak sedahsyat gempa yang terjadi 28 September 2018, tetap menjadi alasan anak anak harus memilih belajar di tenda darurat daripada kembali belajar di ruang kelas mereka dulu.
Itupun masih tergolong lumayan mau sekolah, masih banyak anak yang memilih tinggal di rumah, belum mau ke sekolah lagi.
"Sebelum ada gempa murid kami berjumlah 255 anak. Sekarang baru 75 anak yang baru mulai belajar," kata Farida, guru SDN 05 Palu.
Imbauan agar anak kembali belajar, sudah dilakukan melalui siaran keliling, maupun datang ke rumah siswa satu persatu. Takut ada gempa lagi, yang selalu dijadikan alasan mereka tidak mau masuk sekolah.
Ngopibareng.id dua hari di Palu dan Donggala saat mengikuti kunjungan kerja Mendikbud Muhadjir Effendy, sempat beberapa kali merasakan gempa dan melihat warga berlarian keluar rumah.
"Masyarakat di sini masih dicekam ketakutan dan trauma sehingga perlu waktu untuk memulihkannya. Dan ini berdampak pada proses belajar mengajar," kata Farida.
Farida menceritakan, sekolah darurat ini didirikan sekitar satu minggu setelah gempa. Sekolah darurat ini bantuan dari Unicef dan tenda swadaya sekolah.
"Tapi baru satu minggu ini ada anak didik yang datang. Itupun belum belajar secara penuh, anak anak di buat senang dulu," katanya.
Suasana serupa juga terjadi di tenda halaman sekolah SMP Negeri 10 Donggala. Sekitar 25 siswa kelas sembilan, atau setingkat dengan kelas tiga SMP yang tengah belajar Bahasa Indonesia sambil menunggu kedatangan Mendikbud Muhadjir Effendy.
Baju siswa terlihat basah oleh keringat, karena cuaca yang cukup panas. Di SMP 10 ini ada 350 siswa. Tapi sampai hari ke-40 baru 75 anak yang masuk sekolah.
"Saya hanya bisa mengimbau, tidak bisa memaksa harus masuk sekolah, karena masih takut ada gempa susulan," kata Suharti, salah satu guru Bahasa Indonesia sambil memeluk seorang siswa.
Tak kuasa melihat kondisi anak didiknya, Suharti pun meneteskan air mata yang membasahi pipinya.
"Saya ingin anak didik saya segera kembali sekolah, apalagi akanujian," katanya sesenggukan.
Belum sempat menghapus air matanya, Mendikbud masuk ruang kelas darurat tempat Suharti mengajar.
"Anak anak, kalian harus tetap semangat, belajar yang baik. Bencana jangan dijadikan alasan untuk berdiam diri. Sanggup?" tanya Mendikbud yang dijawab dengan penuh semangat, "Sanggup!".
"Enak mana belajar di ruang kelas dengan di tenda?" tanya Mendikbud.
"Enak di ruang kelas Pak, tidak kepanasan. Tapi lebih aman di tenda. Ruang kelas kami temboknya retak retak, takut roboh," jawab Airin salah satu siswa.
"Kalian harus sabar dan banyak berdoa. Ruang kelas yang rusak dan tidak bisa dipergunakan akan segera kami perbaiki, supaya anak-anak bisa belajar dengan baik dan tenang," kata Mendikbud disambut tepuk tangan dan yel-yel penuh semangat.
Bu Guru Suharti yang sempat berlinang air mata melihat nasib anak didiknya belajar di tenda darurat, ikut tersenyum mendengar janji Mendikbud Muhadjir.
Kadisdik Sulteng Irwan Lahace, menyebut gempa bumi 28 september 2018 yang mengguncang Palu, Donggala dan Sigi mengakitbatkan 1.507 gedung sekolah terdampak. Sebanyak 1.451 ruang kelas rusak berat, 2.504 rusak ringan.
Sementara peserta didik meninggal dunia sebanyak 120 dan 178 siswa hilang. Guru meninggal dunia 48 orang dan 34 orang hilang.
Irwan mengaku sangat sedih, karena bencana ini berdampak pada proses belajar mengajar di Sulteng berhenti. "Kami sangat sedih," kata Irwan. (asm).