Sirikit Syah Tak Pernah Kendor
Tanggal 20 April lalu beredar info yang sangat menyesakkan. Bu Sirikit Syah sejak empat hari lalu menjalani rawat inap di RS Haji dalam kondisi lemah. Mohon doanya. Ttd, Chairul Anam, suami Sirikit.
Pagi ini, kembali beredar info di beberapa platform, telah meninggal dunia Dr. Sirikit Syah. Dalam usia 62 tahun. Meninggalkan dua anak dengan tiga cucu. Awal bulan ini, anak bungsunya, Bintang, menikah dengan gadis pilihannya di Semarang. Sirikit Syah, atau Hernani Syah, sangat merasa puas bisa menyelesaikan hidup ini setelah menikahkan kedua anaknya.
Sejak menderita kanker, setelah menjalani mastekomi beberapa tahun lalu, kesehatannya memang menjadi labil. Sering kerumah sakit, terutama menjalani kematerapi. Tapi semangatnya untuk sembuh, terutama semangatnya untuk tetap hidup, luar biasa. Dia terus menulis. Terus mengajar. Dan terus mengkritisi pemerintah.
Semua temannya tahu bahwa Sirikit sangat kritis terhadap pemerintahan sekarang. Tak pernah kendor, di berbagai kesempatan. Banyak teman yang kagum pada sikapnya, tapi ada juga yang mencemooh bahkan membulinya. Sirikit tahu ada beberapa temannya yang tak senang padanya karena sikapnya. Tapi dia tidak peduli. Meskipun dia pernah juga mengeluh, bukan karena sering dibuli, tetapi karena kata-kata atau kalimat yang digunakan teman-temannya itu demikian kasar dan dianggapnya tidak masuk akal.
Sirikit adalah jurnalis yang penyair, penyair yang jurnalis. Sebagai penyair, dia lahir dari organisasi kesenian yang bermarkas di Balai Pemuda, Bengkel Muda Surabaya (BMS). Dia bahkan pernah menjadi ketuanya, akhir 80an. Sedangkan sebagai jurnalis, dia mengawalinya di harian sore Surabaya Post, tepatnya tahun 1985.
Ke luar dari Surabaya Post 1988, akhir delapan puluhan, dia bergabung dengan SCTV, yang saat itu mengawali tayangannya di Surabaya. Sirikit termasuk generasi pertama Jurnalis SCTV. Dia pernah bekerja di Brunei Post, juga pernah jadi koresponden Jakarta Post. Pernah jadi anggota Komisi Penyiaran Jawa Timur. Dan saat ini, sambil mengajar di beberapa perguruan tinggi, dia tercatat sebagai Sekretaris Dewan Pakar ICMI Jawa Timur. Dia telah menulis belasan judul buku. Sirikit adalah gudang pengalaman dan kegiatan. Dia bukan tipe orang yang bisa diam.
Awal Januari tahun ini, dia kirim pesan WhatsApp. “Mas, aku nulis di Ngopibareng ya. Tulisan rutin tiap hari minggu.” Silakan, dengan senang hati kami akan memuatnya. “Tulisan ringan wae, dari sudut pandang emak-emak.” Siyap.
Sirikit pun mulai mengirim tulisannya, yang atas persetujuan dia, diberi sub rubrik #pojokemak-emak. Settingnya berupa obrolan emak-emak, di kampung, di café, di rumah, atau di mana saja, yang membahas semua persoalan yang memang sedang hangat di masyarakat. Demo mahasiswa, hutang negara, Luhut Binsar Panjaitan, Giring, Jokowi, Megawati, BBM, tempe, sampai minyak goreng.
Terakhir dia kirim tulisan 19 Maret, judulnya ‘Balada Emak dan Minyak Goreng’. Setelah itu tidak ada kabar berita, sampai muncul informasi di Wag dari suaminya, 20 April.
Selamat jalan Ikit, sejak dahulu banyak orang yang memujimu, memuji sikapmu, integritasmu. Kami kehilanganmu. (nis)