Singgung Masalah Khilafiyah, MUI: Jangan Caci Pilihan Orang Lain
Jakarta: Penceramah agama Islam yang tampil dalam program religi di televisi swasta menuai kritik. Para juru dakwah itu, dinilai menyampaikan materi yang dianggap 'tidak tepat'. Untuk menangani masalah itu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah menyiapkan pedoman bagi para penceramah dan televisi yang menghadirkan ustadz atau ustadzah.
“Dalam pedoman bersama dengan KPI diatur juga kriteria penceramah yang bisa tampil di televisi. Yang mengisi di TV itu minimal udah pernah mengikuti pelatihan atau pernah mengikuti standarisasi bisa tampil di televisi. Karena frekuensi itu ‘kan hak publik. Tidak semua orang dapat menggunakan frekuensi yang terbatas itu. Kita mesti memfasilitasi publik bagaimana mereka mendapatkan haknya terhadap frekuensi yang terbatas itu”.
Demikian dikatakan KH Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI, pada ngopibareng.id, Senin (14/8/2017). Kriteria tersebut, menurut Kiai Cholil, akan berpatokan pada Pedoman Dakwah yang dikeluarkan oleh MUI pada Juni lalu. Pedoman MUI itu menyebutkan seseorang yang menyampaikan dakwah secara umum bukan hanya di televisi memiliki wawasan yang luas.
"Misalnya bicara tentang khilafiyah harus dari berbagai pandangan, dan jadi orang yang nanti akan memilih, tapi tidak boleh juga mencaci pilihan seseorang, " kata Cholil.
Nantinya juga akan dibentuk Dewan Etik Da'i yang akan melakukan sidang terhadap pada da'i yang materi ceramahnya mendapat protes atau kritik dari masyarakat. MUI, menurut Cholil, hanya memperhatikan masalah konten, sementara KPI berwenang memberikan tindakan pada lembaga penyiaran.
"Dari aturan KPI kan mengikat. KPI bisa mencabut, menegur, KPI bisa melakukan tindakan untuk memberi sanksi terhadap pengelola. Nah MUI dapat men-support dari sisi konten, pembinaan terhadap para pengisi di televisi itu."
"Yang mengerti tentang standar agama kan MUI, dapat memberikan standar yang tidak standar, agar acara televisi di radio dan televisi itu lebih baik dan yang ditampilkan kredibel dan kompeten," kata Cholil.
Pembahasan tentang pedoman itu dilakukan setelah kasus ustad yang menyampaikan tentang 'adanya pesta seks di surga' beberapa pekan lalu dalam acara 'Islam Itu Indah' di Trans TV yang mengundang kecaman di media sosial.
Acara religi yang sama kembali menjadi sorotan setelah seorang penceramah, Febri Sugianto, mengungkapkan perempuan yang menggunakan 'pembalut dan hak tinggi' akan sulit punya anak karena pembalut akan "mengembalikan bakteri jahat ke dalam rahim."
Untuk kasus terakhir, KPI menyatakan telah mengkaji tayangan tersebut dan mengeluarkan keputusan pada 9 Agustus 2017lalu.
Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, mengatakan pedoman itu akan mengatur agar materi ceramah di televisi tidak menimbulkan kontroversi. Salah satunya penceramah yang menyebut 'adanya pesta seks di surga'.
"Kita punya wacana ke depan untuk menertibkan hal seperti ini dengan menggandeng MUI dan Kemenag terutama tentang substansi dari dakwah itu sendiri. Kalau KPI sendirian tidak sesuai dengan tafsir yang benar itu akan jadi resisten. Indonesia kan sangat plural, bisa jadi satu tafsir bisa berbeda dari kelompok masyarakat. Kita tak ingin melakukan teguran atau penghentian sementara, namun nanti malah muncul reaksi lagi dari masyarakat," kata Dewi.
Selama ini, menurut Dewi, KPI mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dalam mengkaji kelayakan siaran televisi.
"Kita memang sejauh ini yang jadi acuan itu adalah bagian penting dari ceramah atau dakwah, tetapi pada kenyataannya ada hal-hal lain yang jadi offside jadi permasalahan tersendiri. Itu kan masuk ke wilayah norma ya, tidak ada perbandingan agama dan lain sebagainya. Hal-hal ini sebenarnya belum diatur," jelas Dewi merujuk pada kasus penceramah yang menyebut 'adanya pesta seks di surga'.
Dalam Standar Program Siaran P3SPS tahun 2012 pasal 7 huruf (a); tidak berisi serangan, penghinaan dan/atau pelecehan terhadap pandangan dan dan keyakinan antar atau dalam agama tertentu serta menghargai etika hubungan antarumat beragama; (b) menyajikan muatan yang berisi perbedaan pandangan/paham dalam agama tertentu secara berhati-hati, berimbang, tidak berpihak, dengan narasumber yang kompeten dan dapat dipertanggungjawabkan. (c) tidak menyajikan perbandingan agama; dan (d) tidak menyajikan alasan perpindahan agama seseorang atau sekelompok orang. (adi)