Sinetron Zahra Viral, Begini Tanggapan Komunitas INFIS
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan polemik sinetron Zahra di Indosiar. Sinetron Zahra dianggap melanggengkan praktik poligami dan mendukung pedofil. Tagar Zahra pun sempat menjadi topik populer di Twitter dengan 22 ribu lebih cuitan berisi kecaman netizen. Tak hanya di media sosial berlogo burung itu, di kanal YouTube Indonsiar pun banjir hujatan warganet.
Kabar viralnya sinetron Zahra sampai ke telinga Komunitas Independen Film Surabaya (INFIS). INFIS terbentuk sejak 13 September 2000 berfokus pada Exhibition, Distribution, and Education. Sementara, menanggapi fenomena sinetron Zahra, Ketua Independen Film Surabaya (INFIS) Fauzan Abdillah mengaku prihatin.
Fauzan menyayangkan sinetron di Indonesia yang sebagian besar mengangkat isu kontroversi. Seperti pernikahan dengan berpoligami. Yang membuat miris, sinetron ini mampu membuat penontonnya fanatik. Sinetron Zahra sendiri bagi Fauzan mengglorifikasi kekerasan seksual dan perlindungan anak. Antara lain adanya adegan pedofil. Terlebih, beberapa adegan tersebut didramatisasi secara berlebihan.
“Isu yang disukai masyarakat itu yang kontroversial. Mudah banget ngangkat rating-nya. Ibu-ibu sendiri pecinta sinetron ada yang menjadikan tontonan itu sebagai sebuah faith dan menyembahnya. Kami sendiri nggak setuju dan menyayangkan sinetron seperti itu tayang di televisi,” kata Fauzan melalui sambungan telepon pada Rabu, 2 Juni 2021.
Alumnus Busan Asian Film School itu mengharapkan ada tiga Lembaga yang turun tangan secara tegas mengatasi maraknya fenomena ini. Pertama, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengontrol perlindungan anak dan perempuan. Kedua, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertanggung jawab dalam menyiarkan. Terakhir, Lembaga Sensor Film (LSF). Semua film termasuk daftar iklan dan program televisi seperti sinetron terdaftar di sini.
“Saya harap KPAI, KPI, dan LSF turut bertindak tegas di sini. Mereka harus bisa mengontrol konten yang dinikmati masyarakat. Di televisi kontrolnya sedemikian kuatnya karena semua orang bisa nonton, berbeda dengan film di bioskop. Sinetron Zahra sebelum ditayangkan Indosiar harusnya sudah dipertimbangkan sensornya,” imbuh pria kelahiran 1988 itu.
Tak hanya itu, Fauzan mengharap adanya kejelasan aturan, tata laksana, dan teknis panduan film yang lolos sensor untuk televisi. Selain itu menyosialisasikan kepada produser dan content creator di penjuru negeri. Dengan demikian, sineas dan produser bisa mawas diri dalam menciptakan karya yang bisa mendidik masyarakat. Terlebih tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.
Sementara, mengetahui sinetron Zahra yang terlanjur banyak dikecam, Dosen Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) itu meminta KPAI dan KPI bergerak. Pria asal Surabaya itu pun menyarankan sebelum ditegur, pihak Indosiar mengubah alur cerita. Namun, jika tidak memungkinkan pemeran Zahra yang masih berusia 14 tahun dialihkan ke sinetron judul lain bertemakan anak remaja.
“Agar masalahnya tidak semakin runcing KPAI dan KPI harus tegas. Jalan cerita sinetron Zahra harus diubah. Pemain Zahra bisa dialihkan ke sinetron lain yang cocok untuk remaja. Ini agar tidak terjadi masalah di sistem sosial. Masyarakat sekarang juga semakin cerdas dan terbuka, jadi kontennya harus edukatif,” tutup alumnus jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.