Sinetron Zahra Dilaporkan ke KPI
Kata kunci Suara Hati Istri Zahra sempat menjadi trending topic di Twitter. Para pengguna Twitter meminta Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI menurunkan sinetron Zahra. Penyebabnya, pemeran Zahra masih berusia 14 tahun. Zahra diperankan oleh aktris pendatang baru bernama Lea Ciarachel Fourneaux. Dia masih berstatus pelajar SMP, tetapi memerankan karakter sebagai istri ketiga Pak Tirta.
Netizen menyebut sinetron ini telah mengkampayekan pedofil. Netizen mengadu ke KPI lewat media sosial. Mereka ramai-ramai menautkan akun KPI dengan harapan segera ada tindakan. Namun sampai saat ini belum ada kabar lebih lanjut bagaimana nasib sinetron Zahra.
"Take down drama Suara Hati Istri - Zahra. Ada ide yang bagus kan? Kenapa itu drama seolah-olah ngajarin buat pedofilia? Kenapa enggak ngide bikin film mengajarkan bahaya pedofilia? Tolong suruh pihak drama kalau mau cast orang juga pertimbangan banyak pihak," cuit @whome.
"Halo, selamat siang KPI. Saya ingin memberitahukan bahwa di Indosiar saat ini sedang tayang Mega Series dengan judul Suara Hati Zahra. Di situ diceritakan Zahra sebagai siswi SMA yang menikah dengan laki-laki yang sudah berumur dan menjadi istri ketiganya," cuit @xblue.
Netizen pun mengikuti saran KPI bagaimana cara melaporkan program yang dianggap tak layak tayang. Seperti template yang dibuat KPI, cara pelaporan adalah menyebutkan nama acara, nama stasiun televisi atau radio, jam dan tanggal tayang, dan poin terakhir isi aduan.
Maka, beberapa netizen membuat cuitan seragam.
"Nama acara: Suara Hati Istri - Zahra. Stasiun TV: Indosiar. Jam dan tanggal tayang: setiap hari 18.00. Isi aduan: perempuan di bawah umur (15 tahun) beradegan dewasa dengan pria umur 39 tahun @KPI_Pusat," cuit balladcreatures.
“Lu bayangin bocil 15 tahun disuruh adegan beginian,” tulis netizen menyertakan foto Zahra dan Pak Tirta yang berada di atas ranjang.
Selain Pedofil, Sinetron Zahra Seolah Mendukung Praktik Perkawainan Anak
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) meminta KPI menghentikan tayangan sinetron Zahra. Kompaks menilai sinetron tersebut mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung praktik perkawinan anak.
"Komisi Penyiaran Indonesia untuk menghentikan sementara tayangan tersebut dan memberikan sanksi berat pada rumah produksi Mega Kreasi Films dan jaringan penyiar Indosiar yang memproduksi dan menayangkannya," tulis Kompaks dalam keterangan persnya.
Menurut Kompaks, sinetron tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditujukan untuk kegiatan penyelenggaraan penyiaran baik TV maupun radio di Indonesia. Sebab, tayangan sinetron itu sudah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 14 Ayat (2) yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran".
Menurut Kompaks, sinetron tesebut sangat disayangkan karena terkesan mendukung, bahkan mendapat keuntungan dari isu perkawinan anak.
"Sungguh miris ketika sebuah sinetron yang ditayangkan melalui saluran televisi nasional telah mendukung, melanggengkan, dan bahkan mendapatkan keuntungan (monetisasi) dari isu perkawinan anak alih-alih melakukan hal-hal yang dapat berkontribusi pada penghapusan kekerasan berbasis gender yang satu ini," demikian penjelasan Kompaks.
Minta LSF dan KPAI Investigasi Sinetron Zahra
Kompaks juga meminta Lembaga Sensor Film untuk bekerja secara kritis, benar, dan bertanggung jawab atas penayangan sinetron tersebut. Mereka pun berharap jaringan penyiar Indosiar dan rumah produksi Mega Kreasi Films juga bertanggung jawab kepada masyarakat secara sosial dengan memproduksi dan menayangkan konten edukatif terkait dengan isu perkawinan anak.
Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun diminta untuk terlibat mendalami serta memberikan perlindungan kepada aktris di bawah umur di sinetron tersebut.
"Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk menginvestigasi tayangan tersebut dan berikan perlindungan kepada aktris anak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut, baik atas dampak produksi yang telah berlangsung maupun dampak dari pemberitaan media," tulisnya.
Advertisement