Sindikat Pemalsu Dokumen di Jember, Guru dan Pengusaha Dibekuk Polisi
Satreskrim Polres Jember berhasil membongkar sindikat pemalsu dokumen. Ada lima orang tersangka yang terdiri atas karyawan swasta, guru honorer, dan pengusaha percetakan.
Diketahui kelima tersangka tersebut berinisial GAA, 38 tahun, warga Desa Panti, Kecamatan Panti, MWS, 20 tahun, warga Desa Glagahwero, Kecamatan Kalisat, MHF, 24 tahun, warga Desa Sumberlesung, Kecamatan Ledokombo, ZC, 30 tahun, warga Desa/Kecamatan Kalisat, dan SH, 33 tahun, warga Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Kapolres Jember AKBP Bayu Pratama Gubunagi mengatakan, terbongkarnya kasus pemalsuan dokumen berawal saat ada warga yang memohon pengadaan SIM di Satpas Satlantas Polres Jember. Saat itu yang bersangkutan datang dengan alasan SIM yang sebelumnya sudah hilang.
Petugas kemudian melakukan verifikasi data pribadi orang tersebut dan diketahui ternyata belum pernah memiliki SIM. Berawal dari situ, polisi melakukan pendalaman dan mendapatkan informasi bahwa SIM sebelumnya tidak dicetak resmi di kantor Satpas SIM Satlantas Polres Jember.
Setelah ditelusuri, akhirnya mengarah kepada tersangka berinisial SH, warga Sragen. Tak ingin kehilangan jejak, polisi menangkap SH pada tanggal 7 Oktober 2024.
"Dari informasi tersebut terus berkembang sampai akhirnya kami berhasil mengamankan warga Sragen. Warga Sragen bertugas mengedit dokumen dan dikirim ke Jember untuk dicatat di Jember," katanya.
Hasil pengembangan terhadap SH, polisi menangkap empat tersangka lainnya. Keempat tersangka yang merupakan warga Jember memiliki peran yang berbeda. Dua di antaranya merupakan pemilik dan karyawan percetakan dan dua orang lainnya sebagai pencari korban yang membutuhkan pencetakan dokumen.
Para tersangka menawarkan jasa mereka melalui media sosial. Sehingga wajar jika yang mengajukan pencetakan dokumen bukan warga Jember saja, tetapi juga ada dari daerah lain, seperti Singkawang, Banten, NTB, Bogor, dan Ketapang.
Biaya pembuatan dokumen palsu beragam, mulai Rp 350 ribu sampai Rp 1 juta. Meskipun dengan tarif yang cukup mahal, para tersangka hanya mengeluarkan modal Rp 10 ribu untuk membuat dan mencetak satu dokumen. Sejak bulan Juni 2024 sampai Oktober 2022 mereka telah mencetak 122 dokumen, yang terdiri atas KTP, NPWP, Kartu BPJS Kesehatan, surat nikah, sertifikat tanah, dan ijazah.
Seluruh dokumen palsu yang dicetak tersangka diverifikasi satu persatu. Bayu memastikan dokumen tersebut palsu, baik dari segi data maupun fisik yang digunakan.
"Kami sempat menduga ada keterlibatan orang dalam, di tiap-tiap instansi yang berwenang. Namun, setelah kami telusuri semua dokumen yang dicatat tersangka semua palsu, dari data dan material juga palsu. Sehingga dipastikan mereka mencetak sendiri," jelasnya.
Meskipun semua palsu, namun bagi warga yang tidak memahami akan menganggap dokumen tersebut asli. Sebab, dokumen yang diproduksi tersangka tingkat kemiripannya cukup tinggi.
Bayu mencontohkan SIM palsu yang diproduksi tersangka, nomor serinya semua sama. Padahal untuk SIM asli nomor serinya berbeda antara satu SIM dengan SIM lain. Termasuk juga tersangka tidak bisa meniru membuat hologram.
Lebih jauh Bayu berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi para pengusaha percetakan. Jangan sampai tergiur oleh keuntungan kecil dan harus berurusan dengan penegak hukum.
Dari tangan tersangka, polisi menyita barang bukti berupa lima unit HP, printer, monitor, CPU, mesin foto kopi, flasdisk, mesin pemotong, dan 122 dokumen palsu.
"Para pelaku kami sangkakan pasal 263 ayat (1) KUHP juncto pasal 55 ayat (1) KUHP, juncto pasal 56 ayat (1) KUHP, junto pasal 65 ayat (1) KUHP. Kelima tersangka terancam maksimal enam tahun penjara," pungkasnya.